Site icon sakawarta.com

Apakah Target Rasio Pajak 12 Persen Bisa Tercapai di Era Prabowo?

Achmad Nur Hidayat, Ekonom dan Pakar Kebijakan Publik UPN Veteran Jakarta. Foto: Instagram/@achmadnurhdyt.

Sakawarta, Jakarta – Pertanyaan yang kini mencuat di tahun pertama pemerintahan Presiden Prabowo Subianto ialah, dapatkah target rasio pajak 12 persen dalam RPJMN 2025–2029 tercapai di tengah penerimaan pajak yang justru terkontraksi?

Pertanyaan ini bukan sekadar urusan angka, tetapi menyangkut kemampuan negara membiayai janji-janji besar: program makan bergizi gratis, ketahanan pangan, hingga modernisasi pertahanan.

Di Antara Ambisi Fiskal dan Realitas Penerimaan

Sayangnya, kinerja fiskal awal menunjukkan tren melambat. Hingga Agustus 2025, penerimaan pajak melemah dibanding tahun sebelumnya; PPh badan dan PPN dalam negeri bahkan mengalami kontraksi akibat lesunya konsumsi dan industri.

Akibatnya, tax ratio yang sempat 10,2 persen pada 2024, kini berpotensi kembali turun di bawah 10 persen. Dalam kondisi seperti ini, target 12 persen tampak lebih sebagai ambisi politik daripada capaian realistis, kecuali terjadi lompatan kebijakan yang nyata.

Rasio Pajak: Cermin Kepercayaan Publik

Rasio pajak sejatinya mencerminkan kepercayaan publik terhadap negara. Negara-negara dengan tax ratio tinggi biasanya punya administrasi yang efisien dan masyarakat yang yakin pajak mereka dikelola dengan baik.

Indonesia tertinggal di kisaran dibawah 10 persen, jauh dari Vietnam (17 persen) dan Thailand (16 persen). Masalahnya bukan pada potensi ekonomi, tetapi pada lemahnya kemampuan memobilisasi penerimaan.

Analogi sederhananya seperti rumah tangga dengan banyak sumber pendapatan, tapi pembukuan amburadul. Potensi besar, tapi bocor di banyak sisi. Tax gap Indonesia—selisih antara potensi dan realisasi pajak—masih sangat lebar.

Tantangan Awal Pemerintahan Prabowo

Pemerintahan baru menghadapi kombinasi tekanan berat: ekonomi global yang melambat, ketegangan geopolitik, dan beban fiskal dari program populis.

Program makan bergizi gratis saja diperkirakan menelan hingga Rp150 triliun per tahun. Tanpa kenaikan rasio pajak, pembiayaan utang akan menjadi jalan pintas, namun berisiko bagi disiplin fiskal.

Kinerja penerimaan yang lemah menandakan dua hal: ekonomi belum pulih kuat dan reformasi pajak belum membuahkan hasil. Sistem administrasi pajak digital dan program pengungkapan sukarela belum mengubah perilaku kepatuhan. Banyak pelaku usaha masih menunggu arah kebijakan baru—apakah akan tegas pada kepatuhan atau kompromistis demi stabilitas politik.

Target 12 Persen: Realistis atau Retoris?

Untuk mencapai rasio pajak 12 persen, Indonesia harus menambah penerimaan setara 2 persen PDB—lebih dari Rp600 triliun—tanpa menaikkan tarif pajak. Artinya, basis pajak harus diperluas secara drastis.

Namun, lebih dari separuh tenaga kerja Indonesia masih di sektor informal, yang kontribusi pajaknya minim.

Pemerintah perlu memperluas formalisasi ekonomi melalui digitalisasi UMKM, insentif bagi usaha kecil yang masuk sistem formal, serta harmonisasi antara pajak pusat dan daerah. Tanpa itu, target 12 persen akan tetap menjadi slogan.

Reformasi Pajak: Dari Sistem ke Budaya

Reformasi pajak bukan sekadar mengganti sistem dengan teknologi baru, tetapi membangun budaya integritas dan pelayanan. Era Jokowi sudah memulai digitalisasi pajak lewat core tax system dan UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan, tapi hasilnya belum maksimal karena implementasi lambat dan kepercayaan publik rendah.

Analogi mudahnya seperti mengganti mesin mobil tapi tetap mengemudi dengan cara lama.

Sistem baru tak akan efektif tanpa perubahan perilaku aparat dan wajib pajak. Pemerintahan Prabowo harus melanjutkan reformasi ini dengan menanamkan etos compliance by design—kepatuhan yang terbangun otomatis lewat sistem dan kepercayaan, bukan sekadar ancaman sanksi.

Keadilan Fiskal Jadi Penentu

Peningkatan rasio pajak juga tak boleh mengorbankan keadilan. Jika beban justru menimpa kelompok menengah dan UMKM, ekonomi bisa kehilangan daya dorong. Pemerintah perlu fokus pada sektor dengan potensi besar namun masih under-taxed seperti ekonomi digital, tambang, dan properti mewah.

Integrasi data lintas lembaga menjadi kunci. Jika data transaksi, kepemilikan aset, dan catatan kependudukan terhubung, pajak bisa lebih akurat dan adil. Pajak akan berbasis bukti, bukan sekadar pengakuan.

Menuju Kemandirian Fiskal

Untuk mencapai 12 persen, Indonesia butuh kepemimpinan fiskal yang konsisten dan transparan. Pemerintah harus membangun kepercayaan masyarakat bahwa pajak mereka kembali dalam bentuk layanan publik yang nyata: sekolah yang baik, kesehatan mudah diakses, jalan yang layak.

Ketika rakyat melihat hasil nyata dari uang pajaknya, kepatuhan akan tumbuh tanpa paksaan. Di sinilah kunci reformasi pajak bukan pada tarif, melainkan pada trust.

Apakah target rasio pajak 12 persen di era Prabowo bisa tercapai? Bisa, tetapi hanya jika dilakukan dengan cara luar biasa.

Reformasi administrasi harus dilanjutkan, kepercayaan fiskal harus dipulihkan, dan perluasan basis pajak harus disertai keadilan.

Rasio pajak bukan sekadar indikator ekonomi, melainkan simbol kedewasaan sebuah bangsa dalam membiayai dirinya sendiri.

Bila Prabowo mampu membangun kepercayaan fiskal dan menegakkan reformasi pajak yang berkeadilan, maka ambisi 12 persen bukan lagi mimpi, melainkan tonggak menuju kemandirian ekonomi Indonesia.

Exit mobile version