Sakawarta.com, Jakarta – Pengurangan kemiskinan ekstrem menjadi agenda prioritas pemerintah pada periode kedua Joko Widodo alias Jokowi. Disampaikan arahan dalam rapat terbatas mengenai strategi percepatan pengentasan kemiskinan pada 4 Maret 2020 bahwa kemiskinan ekstrem ditargetkan turun menjadi nol persen pada 2024.
Target diulangi Prabowo Subianto melalui Instruksi Presiden No.8/2025 tentang Optimalisasi Pelaksanaan Pengentasan Kemiskinan dan Penghapusan Kemiskinan Ekstrem. Tidak ada batas tahun pencapaian. Menko Perekonomian kemudian menetapkan target 0-0,5% pada 2026.
Ketika ada indikasi target tidak akan tercapai pada era Jokowi, sempat dikeluarkan Inpres no.4/2022 tentang percepatan penghapusan kemiskinan ekstrem. Hasilnya cukup dibanggakan pada pidato kenegaraan terakhir, dengan menyebut telah mencapai 0,83% per Maret 2024.
Apa yang disampaikan Jokowi memang berdasar dan dikonfirmasi oleh Badan Pusat Statistik (BPS) kala itu. Paparan kepala Badan Pusat Statistik (BPS) dalam rapat bersama DPR tanggal 28 Agustus 2024 kembali mengemukakannya.
Akan tetapi mesti diingat bahwa persentase yang seolah mendekati nol persen itu artinya mencakup lebih dari 2 juta orang. Masih sulit untuk disebut menghapuskan kemiskinan ekstrem.
Belakangan, paparan BPS ketika menyampaikan profil Kemiskinan pada Maret 2025 menyajikan besaran yang berbeda. Jumlah penduduk miskin ekstrem disebut sebanyak 2,38 juta orang atau 0,85% dari total penduduk. Sedangkan pada 2024 masih sebanyak 3,56 juta orang atau 1,26%.
Tampak ada data yang berbeda cukup signifikan untuk kondisi 2024, padahal keduanya dinyatakan oleh BPS. Secara persentase terdapat selisih 0,43% poin, dan itu menyangkut lebih dari 1 juta orang.
Kemiskinan Ekstrem Mengacu Standar Bank Dunia
Istilah kemiskinan ekstrem sebenarnya mengacu pada upaya Bank Dunia menghapusnya di seluruh dunia. Bank Dunia mengidentifikasi dengan ukuran yang disebut garis kemiskinan internasional. Namun, Bank Dunia secara rutin memutakhirkan ukuran tersebut tiap beberapa tahun.
Tampak bahwa BPS mengemukakan data tanpa merujuk pada pemutakhiran Bank Dunia. Pada saat mengemukakan 0,83% pada 2024, berdasar pengeluaran di bawah S$1,9 per hari per orang.
Tidak hanya itu, masih dipakai pula perhitungan paritas daya beli atau Purchasing Power Parity (PPP) tahun 2011. Padahal saat itu yang dipakai Bank Dunia adalah PPP tahun 2017, dengan standar $2,15.
Pada siaran pers 25 Juli 2025, BPS menyajikan data kemiskinan esktrem berdasar ukuran tersebut. Sementara itu, Bank Dunia telah memakai standar $3,00 dalam PPP tahun 2021. Jika dipakai, maka jumlah penduduk miskin ekstrem tahun 2024 mencapai 15,42 juta orang atau 5,44%.
Data tingkat kemiskinan ekstrem yang merujuk standar Bank Dunia sebenarnya telah disebut BPS sejak tahun 2018. Disajikan dalam publikasi tahunan tentang Indikator Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (TPB), yang merupakan terjemahan BPS dari Sustainable Development Goals (SDGs).
Publikasi TPB tahun 2018-2022 masih memakai ukuran US$1,9 PPP dengan estimasi tertentu dari BPS. Perubahan signifikan dilakukan pada publikasi TPB tahun 2023 dan tahun 2024 yang telah merujuk pada ukuran Bank Dunia yang sudah berubah, yakni sebesar US$2,15 PPP.
Sementara itu, Bank Dunia sejak 1990 sampai dengan 2016 hanya memakai satu ukuran, yaitu garis kemiskinan internasional. Di kemudian hari dikenal pula sebagai garis kemiskinan ekstrem, yang juga beberapa kali dimutakhirkan. Yaitu: sejak 1990 memakai $1,00 (1985 PPP), sejak 2001 memakai $1,08 (1993 PPP), sejak 2008 memakai $1,25 (2005 PPP), dan sejak 2015 memakai $1,90 (2011 PPP).
Bank Dunia kemudian merasa perlu memakai tiga ukuran untuk membandingkan kondisi berbagai negara, yaitu garis kemiskinan internasional, garis kemiskinan negara berpendapatan menengah bawah, dan garis kemiskinan negara berpendapatan menengah atas. Pertama kali dilakukan pada tahun 2017 dengan tahun dasar 2011 PPP. Ukurannya pun beberapa kali dimutakhirkan.
Konsep PPP bermaksud mengatasi kesulitan terdapatnya harga barang dan jasa berbeda di antara berbagai negara. PPP atau paritas daya beli memungkinkan perbandingan nilai riil uang. Merupakan kurs dengan penyesuaian perbedaan biaya hidup dan tingkat harga masing-masing negara.
Dengan demikian kurs PPP jauh berbeda dengan kurs transaksi atau pasar. Ada pula perbedaan kurs karena tahun dasar PPP yang berbeda, misal 2011, 2017 dan 2021. Kurs tiap tahun untuk masing-masing negara juga disesuaikan.
Sebagaimana disebut terdahulu, kemiskinan ekstrem mengacu pada garis kemiskinan internasional yang saat ini sebesar $3,00 (2021 PPP). Untuk Indonesia, kurs PPP itu pada 2024 sekitar Rp5.800. Hasil perhitungannya, masih ada 15,42 juta orang atau 5,44% dari total penduduk.
Jika Pemerintah dan BPS mengikuti standar terkini, nyaris mustahil mencapai nol persen pada 2026. Bahkan, Garis Kemiskinan BPS tahun 2024 pun hanya sekitar $3,35 (2021 PPP). Padahal, standar untuk negara berpendapatan menengah bawah sebesar $4,20 dan berpendapatan menengah atas sebesar $8,30.
Sebenarnya ada yang lebih penting terkait target untuk menghapuskan kemiskinan ekstrem. Hal itu hanya bisa terwujud jika diketahui siapa dan dimana mereka oleh Pemerintah. Kebijakan yang tepat dipastikan tidak bisa dilaksanakan tanpa informasi cukup rinci dan presisi tentang mereka beserta kehidupan sehari-harinya.