Sakawarta, Jakarta – Managing Partner Inventure Yuswohady menyampaikan, di tengah ketidakpastian ekonomi dan deflasi yang terjadi selama beberapa bulan terakhir, sebanyak 51% kelas menengah merasa tidak mengalami penurunan daya beli, sementara sebesar 49% merasa bahwa daya beli mereka menurun signifikan.
Yuswohady mengungkapkan, mereka merasa tiga faktor utama penyebab yang membuat daya beli turun adalah kenaikan harga kebutuhan pokok (85%), mahalnya biaya pendidikan dan kesehatan (52%), serta pendapatan yang stagnan (45%).
Selain itu, ada pula jawaban meningkatnya Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) dan lapangan kerja terbatas 37%, meningkatnya pajak 31%, utang yang semakin menumpuk 27%, dan kenaikan suku bunga cicilan 23%.
“Ada fakta penurunan daya beli kelas menengah, yakni sebesar 49%. Ini nyaris setengahnya. Tetapi, siapa saja mereka? Mereka adalah aspiring middle class,” kata Yuswohady dalam Press Conference Indonesia Industry Outlook 2025 dengan tema Indonesia Market Outlook 2025: Kelas Menengah Hancur, Masihkah Bisnis Mantul? melalui Zoom, Selasa (22/10/2024).
“Ada deflasi selama lima bulan berturut-turut daya beli turun dan bahkan 10 juta masyarakat kelas menengah kita anjlok, ini kita lihat tahun depan challenging, terutama bagi berbagai industri. Padahal mereka menjadi pilar untuk ke depan,” ucapnya menambahkan.
Meriset itu, Yuswohady dengan lembaganya yakni Inventure melakukan survei konsumen yang melibatkan 450 responden di lima kota besar seperti Jabodetabek, Semarang, Surabaya, Makassar, dan Medan.
Ia mengungkap lebih dalam tentang kelas menengah yang mengalami penurunan daya beli ini. Dari angka 49% tadi ternyata terbagi ke dalam dua kelompok yaitu kelompok aspiring middle class dan middle class.
Sebanyak 67% responden dari kelompok aspiring middle class ini melaporkan bahwa daya beli mereka menurun, sedangkan untuk middle class hanya 47%.
Artinya, kata Yuswohady, aspiring middle class (kelas menengah bawah) adalah kelompok yang paling rentan terhadap penurunan daya beli dibanding kelas middle class.
Menurut dia, ini menunjukkan bahwa tekanan ekonomi saat ini lebih dirasakan oleh kelompok aspiring middle class dibandingkan dengan kelas middle class.
“Mereka merasa, tiga faktor utama yang membuat daya beli mereka turun adalah kenaikan harga kebutuhan pokok (85%), mahalnya biaya pendidikan dan kesehatan (52%), serta pendapatan yang stagnan (45%),” katanya.