Site icon sakawarta.com

Ekonom Soroti Relaksasi Kebijakan TKDN dari RI ke AS Justru Perlebar Banjir Impor

Guru Besar Ekonomi Unand Prof Syafruddin Karimi. Foto: ist.

Sakawarta, Jakarta – Ekonom dari Departemen Ekonomi Universitas Andalas Syafruddin Karimi menyoroti relaksasi kebijakan Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) yang ditawarkan pemerintah Indonesia sebagai bagian dari konsesi dagang kepada Amerika Serikat (AS), justru menimbulkan pertanyaan serius tentang komitmen terhadap kemandirian industri nasional.

Menurut Syafruddin, TKDN selama ini bukan hanya soal angka, tetapi simbol dari tekad bangsa untuk membangun kemampuan produksi dalam negeri guna menciptakan lapangan kerja dan memperkuat rantai pasok nasional.

Ia berpendapat, ketika pemerintah Prabowo Subianto dengan mudahnya melonggarkan ketentuan tersebut tanpa kejelasan timbal balik yang setara dari pihak AS, maka yang terjadi bukanlah diplomasi, melainkan bentuk pengikisan kedaulatan ekonomi secara perlahan.

“Jika negara tidak hati-hati, relaksasi ini hanya akan memperlebar banjir impor, mematikan industri lokal, dan menambah ketergantungan struktural terhadap produk asing,” kata Karimi dalam keterangannya dikutip Minggu (13/4/2025).

Sementara, kata dia, dalam jangka panjang, kebijakan semacam ini hanya akan menyulitkan upaya Indonesia untuk lepas dari jebakan negara berpendapatan menengah.

“Oleh karena itu, pemerintah perlu bersikap cermat dan berani memastikan bahwa setiap konsesi ekonomi harus memberi manfaat nyata dan berkeadilan bagi kepentingan nasional,” katanya.

Ia menekankan, kebijakan perdagangan seperti penghapusan kuota impor atau pelonggaran tarif seharusnya tidak dilakukan secara gegabah, apalagi hanya demi meredam tekanan dagang dari negara besar seperti Amerika Serikat.

Sebab, kata dia, seperti dijelaskan dalam literatur ekonomi, tarif dan kuota yang tidak optimal dapat menyebabkan distorsi impor. Jika perubahan kebijakan dilakukan tanpa memperbaiki distorsi tersebut, maka kesejahteraan nasional justru bisa menurun.

“Pelonggaran kuota yang dilakukan dalam kondisi ekonomi terbuka kecil, seperti Indonesia, berisiko menciptakan efek tidak langsung yang merugikan, yaitu turunnya insentif bagi produksi domestik dan meningkatnya ketergantungan terhadap barang impor,” ucapnya.

Oleh karena itu, lanjutnya, langkah semacam ini harus dipandu oleh prinsip optimalisasi, bukan kompromi politik.

“Pemerintah perlu memastikan bahwa setiap kebijakan dagang mendekatkan sistem perdagangan nasional ke arah yang lebih efisien dan berkeadilan, bukan justru memperdalam ketidakseimbangan struktural yang menggerus kedaulatan ekonomi,” katanya.

Exit mobile version