Sakawarta, Jakarta – Dosen Fakultas Ekonomi Bisnis Universitas Hasanuddin (FEB Unhas) Muhammad Syarkawi Rauf mengatakan proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun 2025 kurang menggembirakan.
Hal ini tercermin dalam perkiraan Organization for Economic Cooperation and Development (OECD) bahwa perekonomian Indonesia hanya bisa tumbuh sebesar 4,9 persen tahun 2025.
”Angka ini jauh dari ‘mimpi’ pemerintah sebesar 6–8 persen hingga tahun 2029,” kata Syarkawi dalam keterangannya dikutip Kamis (13/11/2025).
Sementara, World Economic Outlook (WEO) edisi Oktober 2025 dari International Monetary Fund (IMF) memproyeksikan pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun 2025 sekitar 4,9 persen. Proyeksi ini lebih tinggi 0,1 persen dari perkiraan sebelumnya sebesar 4,8 persen.
Selanjutnya, Bank Indonesia (BI) memperkirakan pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun 2025 dalam rentang 4,6–5,4 persen.
Syarkawi menerangkan, di sisi lain, pemerintah Indonesia menargetkan pertumbuhan ekonomi secara nasional sekitar 5,2 persen tahun 2025 yang jauh lebih tinggi dari proyeksi World Bank (WB) sebesar 4,8 persen.
”Jika diamati pertumbuhan secara tahunan (year-on-year) per kuartal, pertumbuhan ekonomi Indonesia kuartal pertama hanya 4,87 persen, meningkat menjadi 5,12 persen pada kuartal kedua dan melambat menjadi 5,04 persen pada kuartal ketiga tahun 2025. Realisasi pertumbuhan kuartal ketiga lebih tinggi dibandingkan konsensus ekonom sebesar 5,0 persen,” tuturnya.
Ketua KPPU RI 2015–2018 ini menjelaskan, Pelambatan pertumbuhan ekonomi nasional pada kuartal ketiga disebabkan oleh penurunan pertumbuhan investasi, yaitu dari 6,99 persen pada kuartal kedua menjadi hanya 5,04 persen pada kuartal ketiga tahun 2025.
Hal ini, sejalan dengan besarnya proporsi investasi terhadap Gross Domestic Product (GDP) yang hanya 31,48 persen sehingga dengan Incremental Capital Output Ratio (ICOR) sebesar 6,245 maka pertumbuhan ekonomi Indonesia hanya sebesar 5,04 persen.
”Jika besaran investasi sebagai proporsi terhadap GDP, paling tinggi sekitar 33,22 persen dengan angka ICOR sebesar 6,245, maka pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal keempat 2025 diperkirakan maksimum hanya sekitar 5,32 persen,” ucapnya.
Syarkawi menekankan, secara tahunan, masih merujuk pada angka ICOR, yaitu rasio antara investasi per GDP terhadap pertumbuhan output. Dengan angka ICOR sebesar 6,245 dan persentase investasi terhadap GDP sekitar 31-32 persen, maka pertumbuhan ekonomi tahun 2025 hanya akan berada pada rentang antara 4,96-5,12 persen.
”Proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun 2025 masih jauh dari visi jangka panjang pemerintahan Prabowo sekitar 6-8 persen. Proyeksi pertumbuhan ekonomi tahun 2025 juga lebih rendah dari target pemerintah dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) sebesar 5,2 persen,” ujar Syarkawi.
Menurut dia, stagnasi pertumbuhan ekonomi nasional di sekitar angka 5,0 persen disebabkan oleh tingginya inefisiensi perekonomian nasional. Hal ini tercermin pada angka ICOR tahun 2025 yang diperkirakan sebesar 6,245.
”Angka ICOR Indonesia masih jauh lebih tinggi dibandingkan Vietnam yang hanya 4,6 persen, Thailand 4,4 persen, Malaysia 4,5 persen, dan India 4,5 persen. Hal ini mencerminkan bahwa perekonomian Indonesia jauh lebih boros, yaitu membutuhkan lebih banyak barang modal atau investasi untuk menghasilkan satu unit tambahan output,” ujar dia.
Sebagai perbandingan, lanjutnya, dalam kasus India, proporsi investasi terhadap GDP relatif sama dengan Indonesia, yaitu 31,2 persen. Namun, dengan angka ICOR yang lebih rendah, hanya 4,5, pertumbuhan ekonomi India jauh lebih tinggi dibandingkan Indonesia, yaitu sebesar 6,93 persen.
Syarkawi menerangkan, target pemerintah India hingga tahun 2030 adalah menurunkan angka ICOR menjadi hanya 2,7 dengan tingkat pertumbuhan rata-rata sebesar 10 persen, di mana kebutuhan investasi untuk mencapai pertumbuhan 10 persen hanya sekitar 27 persen dari GDP India.
”Hal ini kontras dengan Indonesia, dengan ICOR sebesar 6,245 maka untuk mencapai pertumbuhan 8,0 persen saja maka kebutuhan investasinya jauh lebih besar, yaitu sebesar 49,96 persen dari GDP,” kata Syarkawi.
”Lalu, apa yang dapat dilakukan oleh pemerintah Indonesia untuk mencapai target pertumbuhan sebesar 6–8 persen? Langkah paling penting adalah mendorong efisiensi dan mengurangi kebocoran dalam perekonomian nasional, dengan menurunkan angka ICOR dari 6,245 saat ini menjadi hanya 5 – 6 dalam lima tahun ke depan,” ujar dia lagi.
Menurut dia, strategi jangka pendek hingga panjang yang dapat dilakukan oleh pemerintah Indonesia adalah mendorong inovasi teknologi melalui transformasi digital perekonomian nasional. Maka, akses digital oleh seluruh provinsi dan kabupaten/kota harus mencapai 90 persen.
Di sisi bersamaan, harus juga meningkatkan indeks kemudahan berbisnis. Hal ini dapat dilakukan dengan reformasi kelembagaan (institutional reform), khususnya yang berkaitan dengan rule of law yang inklusif, birokrasi yang efisien, tidak ada pungutan liar, transaction cost yang rendah dan lainnya.
”Langkah ini tidak hanya akan menurunkan angka ICOR tetapi sekaligus meningkatkan daya tarik investasi Indonesia. Harapannya, peringkat kemudahan dalam berbisnis di Indonesia semakin baik. Paling tidak mendekati peringkat kemudahan berbisnis India pada peringkat 27,” tutur dia.
Syarkawi menambahkan, dengan mengadopsi teknologi digital terbaru melalui penggunaan Artificial Inteligent (AI), machine learning (ML), big data, Internet of Thing (IoT) dan automation dalam perekonomian nasional, maka adopsi teknologi digital terbaru akan meningkatkan efisiensi dan mengurangi angka ICOR dari 6,245 menjadi sekitar 5–6 dalam lima tahun ke depan.
”Menetapkan national champion di sektor manufaktur sebagai fokus pengembangan sehingga sebagian besar sumber daya nasional diarahkan untuk meningkatkan efisiensi sektor manufaktur unggulan. Langkah serupa juga pernah dilalukan oleh Jepang dan Korea, dengan sektor manufaktur yang efisien memberikan daya saing di pasar ekspor,” kata Syarkawi.
Ekonomi Indonesia 2025, Antara Mimpi dan Realita

Dosen Fakultas Ekonomi Bisnis Universitas Hasanuddin (FEB Unhas) Muhammad Syarkawi Rauf. Foto: ist.