*Opini: Achmad Nur Hidayat, Ekonom dan Pakar Kebijakan Publik UPN Veteran Jakarta
Program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang digagas sebagai janji politik Presiden Prabowo Subianto sejatinya bertujuan mulia: memastikan anak-anak Indonesia mendapatkan asupan gizi yang layak sebagai bagian dari strategi menurunkan angka stunting dan meningkatkan kualitas SDM.
Namun, alih-alih menjadi solusi, program ini justru menyulut kegaduhan yang berulang—dari kisruh pembayaran, kualitas gizi, hingga dugaan proyek bancakan yang menguntungkan kelompok tertentu.
Ketidaksiapan Perencanaan dan Keterbatasan APBN
Pada titik ini, kita patut bertanya: apakah program MBG ini memang dipersiapkan secara matang? Ataukah ia adalah produk politik yang dipaksakan tanpa dukungan fiskal yang realistis?
Jawabannya mengarah pada kegagalan perencanaan dan ketidaksiapan APBN mengakomodasi ambisi yang terlalu besar dalam waktu yang terlalu singkat.
Sejak awal, program ini tampaknya tidak dibangun di atas basis fiskal yang kokoh, melainkan di atas ilusi politik populis.
APBN 2025 tidak menunjukkan kesiapan struktural maupun ruang fiskal yang memadai untuk menyokong program sekelas MBG, apalagi dengan perluasan skala yang eksponensial.
Ambisi Program MBG: Tekor Asal Kesohor
Pada rancangan awal, anggaran yang diajukan untuk program ini adalah Rp71 triliun. Namun, dalam waktu singkat jumlahnya direncanakan melonjak menjadi Rp171 triliun.
Kenaikan ini bukan hanya tidak realistis, tetapi juga tidak didukung oleh kapasitas fiskal yang ada.
Pemerintah tampaknya tidak mengantisipasi bahwa penerimaan negara akan melemah di awal tahun.
Sampai akhir kuartal pertama 2025, realisasi pendapatan negara hanya mencapai 10,5% dari target, dengan kontraksi lebih dari 20% dibandingkan periode yang sama tahun lalu (APBN KITA Maret 2025).
Tekanan ini sebagian besar berasal dari penerimaan pajak yang lebih rendah, ditambah dengan fluktuasi harga komoditas global dan tekanan ekonomi domestik.
Situasi ini seharusnya menjadi alarm keras bahwa negara sedang menghadapi keterbatasan ruang fiskal yang serius.
Namun, alih-alih menahan diri, BGN justru semakin progresif, mengundang banyak mitra swasta dan komunitas lokal untuk ikut serta dengan janji-janji manis bahwa mereka akan dibayar oleh negara.
Kasus Kalibata menjadi simbol kegagalan tersebut.
Sebuah dapur komunitas yang telah menyiapkan lebih dari 65.000 porsi makanan, kini justru dililit utang karena pembayaran dari pihak penyelenggara tak kunjung datang.
Bahkan lebih ironis lagi, mereka justru ditagih oleh yayasan mitra BGN untuk membayar biaya logistik dan penyediaan tempat makan (ompreng).
Ini adalah gejala dari sistem yang tidak hanya tidak terencana, tetapi juga mengandung celah moral hazard yang besar: pemerintah memproyeksikan citra sosial populis, namun membebankan biaya kepada aktor-aktor kecil tanpa kepastian fiskal yang kuat.
Ironisnya, dalam kondisi keuangan negara yang tertekan, BGN tetap bergerak agresif seolah dana Rp100 triliun tambahan itu sudah tersedia.
Mereka mulai memfasilitasi ekspansi program ke berbagai daerah, menggandeng lebih banyak mitra, bahkan melibatkan lembaga penegak hukum seperti Kejaksaan Agung untuk mengawasi program ini.
Pengawasan memang penting, namun lebih penting lagi adalah memastikan bahwa program ini memiliki dasar fiskal dan administratif yang solid.
Apa gunanya pengawasan jika sejak awal tidak ada kepastian anggaran?
Masalah lainnya adalah skema pembayaran yang dirancang tidak efisien dan berisiko tinggi.
Mekanisme reimburse yang diterapkan membuat para mitra harus menalangi biaya operasional terlebih dahulu.
Ini mungkin bisa dilakukan oleh korporasi besar, tetapi tidak realistis bagi kelompok masyarakat sipil, yayasan kecil, atau dapur komunitas yang tidak memiliki cadangan modal.
Akibatnya, banyak mitra yang gulung tikar di tengah jalan.
Dan bila praktik ini berlanjut, MBG bisa kehilangan basis sosialnya yang selama ini dijadikan narasi utama.
Skema populis seperti MBG membutuhkan keberlanjutan, dan keberlanjutan hanya bisa lahir dari fondasi fiskal yang sehat.
Saat ini, APBN sedang tidak dalam posisi mampu memikul beban tambahan ratusan triliun rupiah tanpa konsekuensi besar: apakah itu pemangkasan program prioritas lain, pelebaran defisit, atau peningkatan utang negara.
Dalam konteks ini, pemerintah harus mulai bersikap realistis.
Alih-alih terus mendorong ekspansi, BGN dan kementerian terkait seharusnya melakukan moratorium program dan mengevaluasi seluruh aspek tata kelolanya secara menyeluruh.
Program MBG tidak boleh menjadi kendaraan politik semata yang membakar anggaran demi pencitraan jangka pendek.
Dampak Pada Kualitas Program dan Kepercayaan Publik
Jika ingin tetap dijalankan, harus ada desain ulang secara menyeluruh—mulai dari skema pendanaan, sistem logistik, target sasaran yang rasional, hingga model kemitraan yang lebih adil.
Pemerintah juga perlu menempatkan transparansi sebagai prioritas utama, agar publik bisa memantau dan menilai apakah uang rakyat digunakan secara bertanggung jawab.
Kisruh program MBG hari ini adalah buah dari ketergesaan politis dan ketidakmampuan negara memahami keterbatasannya sendiri.
Ini adalah pelajaran bahwa program sosial, sebesar dan semulia apa pun tujuannya, tidak akan berhasil tanpa perencanaan yang matang dan fondasi fiskal yang kokoh.
Di tengah ketidakpastian ekonomi global dan tekanan fiskal domestik, Indonesia tidak bisa lagi membiarkan program seperti MBG dijalankan hanya dengan semangat, tanpa akal sehat fiskal yang memadai.
Jika tidak segera dibenahi, MBG berpotensi menjadi beban anggaran jangka panjang sekaligus bom waktu dalam kepercayaan publik terhadap janji-janji pemerintahan baru.