Site icon sakawarta.com

Payment ID Berbasis NIK: Jangan Tergesa, Bangun Dulu Tembok Perlindungan

Achmad Nur Hidayat, Ekonom dan Pakar Kebijakan Publik UPN Veteran Jakarta. Foto: Instagram/@achmadnurhdyt.

Sakawarta.com, Jakarta – Beberapa waktu belakangan, publik Indonesia dikejutkan oleh wacana Bank Indonesia yang akan menerapkan sistem Payment ID berbasis Nomor Induk Kependudukan (NIK).

Rencananya, mulai 17 Agustus mendatang, seluruh aktivitas transaksi keuangan—baik melalui rekening bank, pinjaman online, maupun e-wallet—akan terekam dan terhubung langsung dengan NIK setiap warga negara.

Langkah ini digadang-gadang sebagai upaya besar menuju efisiensi, transparansi, dan keamanan dalam sistem keuangan nasional.

Namun, sebagaimana api yang bisa menghangatkan sekaligus membakar, sistem Payment ID berbasis NIK ini juga menyimpan potensi masalah yang tidak bisa dianggap remeh.

Pertanyaannya: Apakah Indonesia benar-benar siap mengintegrasikan seluruh data transaksi warganya ke dalam satu sistem yang terpusat?

Apakah infrastruktur keamanan data kita sudah kokoh, dan perlindungan hak-hak digital warga negara sudah dijamin sebelum langkah besar ini diambil?

Bayangkan sebuah apartemen dengan banyak kamar.

Selama ini, penghuni setiap kamar memegang kunci berbeda, sesuai kebutuhan dan akses.

Kini, pengelola apartemen ingin mengganti seluruh kunci itu dengan satu master key—Payment ID berbasis NIK.

Praktis, bukan? Setiap penghuni tak perlu repot membawa banyak kunci, dan pengelola bisa lebih mudah mengawasi keluar-masuk setiap orang.

Namun, apa jadinya jika kunci utama ini jatuh ke tangan yang salah, atau jika pintu apartemen ternyata mudah dibobol? Bukan hanya satu kamar yang terancam, tetapi seluruh penghuninya.

Analogi ini menggambarkan risiko utama sistem Payment ID: jika data terpusat tidak diamankan dengan baik, seluruh privasi dan keamanan finansial warga negara bisa terancam dalam sekejap.

Antara Efisiensi dan Ancaman Privasi

Gagasan Payment ID tentu berangkat dari niat baik: menata lalu lintas transaksi keuangan agar lebih efisien dan memudahkan pengawasan.

Dalam dunia yang semakin digital, data menjadi tulang punggung ekonomi dan tata kelola negara.

Bank Indonesia dan pemerintah tentu ingin agar setiap transaksi, dari Sabang sampai Merauke, bisa dipantau secara real-time untuk mencegah kejahatan finansial, memperkuat inklusi keuangan, hingga menertibkan pajak.

Namun, akar masalahnya bukan semata pada niat, melainkan pada kesiapan infrastruktur, perlindungan hukum, dan etika pengelolaan data.

Sejarah telah menunjukkan, data pribadi WNI pernah bocor ke luar negeri—bahkan ke tangan negara adikuasa seperti Amerika Serikat—baik melalui kebocoran aplikasi, operator telekomunikasi, atau serangan siber.

Lalu, bagaimana dengan Payment ID yang akan menyimpan rekam jejak transaksi keuangan setiap individu dalam satu pintu? Apakah kita akan mengulang sejarah, kali ini dengan risiko yang jauh lebih besar?

Integrasi Data Keuangan dan Potensi Abuse of Data

Data menjadi mata uang baru dalam peradaban digital.

Menurut laporan Kominfo, sejak 2019 hingga 2023 terdapat lebih dari 100 juta data WNI yang bocor ke luar negeri melalui berbagai insiden siber.

Di sisi lain, survei Lembaga Riset Siber menemukan 72% masyarakat urban merasa khawatir data pribadinya disalahgunakan pemerintah atau pihak swasta.

Implementasi Payment ID berbasis NIK menawarkan banyak keuntungan di atas kertas.

Pengawasan tindak pidana keuangan akan lebih efektif. Proses Know Your Customer (KYC) di bank dan fintech menjadi lebih singkat.

Negara bisa lebih akurat melihat jejak ekonomi warganya, sehingga kebijakan fiskal dan moneter lebih tepat sasaran.

Namun, pengalaman negara lain seperti India dengan Aadhaar atau Tiongkok dengan Social Credit System memperlihatkan sisi gelap dari integrasi data.

Di India, lebih dari 1 miliar data biometrik bocor pada 2018 karena lemahnya perlindungan data.

Di Tiongkok, skor sosial yang terintegrasi dengan data transaksi keuangan seringkali digunakan untuk mengontrol perilaku warga, bahkan membatasi akses ke transportasi publik atau layanan kesehatan.

Di Indonesia, potensi abuse of power juga nyata.

Tanpa regulasi dan pengawasan independen yang kuat, Payment ID dapat menjadi alat surveillance massal yang melanggar hak privasi.

Bayangkan, jika data transaksi bisa diakses sembarang pejabat atau dijual ke perusahaan asuransi tanpa persetujuan, atau bahkan digunakan untuk menekan kelompok tertentu dalam kontestasi politik.

Kenapa Perlindungan Data Mutlak Sebelum Implemetasi Integrasi Data Keuangan?

Agar mudah dipahami, mari kita ibaratkan data pribadi sebagai identitas di dunia nyata.

Jika KTP Anda tercecer di jalan, Anda pasti khawatir akan digunakan untuk pinjaman online ilegal atau penipuan.

Apa jadinya jika seluruh rekam transaksi keuangan Anda—mulai dari belanja harian, cicilan, hingga donasi sosial—terekspos ke publik?

Tanpa payung hukum yang kuat, Payment ID berbasis NIK bisa menjadi “KTP digital” yang rentan disalahgunakan.

Regulasi perlindungan data harus menjadi fondasi utama sebelum sistem ini diimplementasikan. Bukan hanya untuk mengatur siapa yang boleh mengakses, tetapi juga sanksi tegas bagi industri dan pemerintah jika lalai menjaga keamanan data warga negara.

Belajar dari Negara Lain: Regulasi dan Sanksi yang Tegas

Eropa dengan GDPR (General Data Protection Regulation) memberikan contoh bagus.

Setiap institusi yang lalai melindungi data warga bisa didenda miliaran euro. Hak untuk dilupakan (right to be forgotten) dijamin, dan akses data harus dilaporkan secara transparan.

Sayangnya, Indonesia baru memiliki UU Perlindungan Data Pribadi yang belum sepenuhnya diterapkan secara efektif.

Bahkan, sanksi bagi kebocoran data kerap tidak ditegakkan maksimal, baik untuk swasta maupun pemerintah.

Jika Payment ID diterapkan sebelum regulasi matang, kita hanya menambah risiko baru tanpa solusi nyata bagi perlindungan hak digital rakyat.

Jangan Tergesa, Bangun Dulu Tembok Perlindungan

Sebagai ekonom dan pakar kebijakan publik, saya menilai Payment ID berbasis NIK adalah gagasan progresif, namun terlalu berisiko jika diterapkan tanpa pondasi regulasi dan infrastruktur keamanan yang andal.

Pemerintah seharusnya belajar dari kasus kebocoran data di masa lalu, serta mencontoh negara-negara yang menempatkan perlindungan data sebagai prioritas nasional.

Sebelum Payment ID diimplementasikan, pengesahan dan penegakan regulasi perlindungan data yang kuat harus menjadi prioritas.

Regulasi harus memuat sanksi tegas, baik bagi industri maupun institusi pemerintah yang lalai menjaga data. Audit independen dan pengawasan multi-pihak sangat diperlukan agar tidak ada monopoli akses data. Setiap akses harus tercatat, diaudit, dan dapat ditelusuri.

Edukasi dan sosialisasi publik juga sangat penting agar masyarakat memahami hak-haknya atas data pribadi, serta cara melindungi diri dari potensi penyalahgunaan. Negara harus memastikan sistem anti-peretasan, enkripsi, serta disaster recovery berjalan optimal sebelum Payment ID diluncurkan.

Jalan Menuju Era Digital yang Beradab

Digitalisasi adalah keniscayaan, namun harus berjalan seiring dengan penegakan hak asasi digital warga negara.

Payment ID berbasis NIK bisa membawa Indonesia ke era keuangan modern, tapi tanpa perlindungan data yang kokoh, kita hanya menukar kenyamanan dengan potensi kehilangan privasi dan kedaulatan digital.

Sebagaimana satu kunci utama yang bisa membuka semua pintu, Payment ID harus dijaga sekuat mungkin—bukan hanya oleh pemerintah, tapi oleh seluruh ekosistem bangsa. Jangan sampai, demi efisiensi dan kemudahan, kita membuka pintu bagi ancaman yang lebih besar bagi hak dan masa depan bangsa.

Exit mobile version