Site icon sakawarta.com

Pemangkasan TKD 2026: Guncangan Baru bagi Daerah dan Tantangan bagi Stabilitas Nasional

Achmad Nur Hidayat, Ekonom dan Pakar Kebijakan Publik UPN Veteran Jakarta. Foto: Instagram/@achmadnurhdyt.

Sakawarta, Jakarta – Pertanyaan yang kini ramai bergulir di antara para kepala daerah, birokrat fiskal, hingga akademisi adalah: apakah pemangkasan Transfer ke Daerah (TKD) dalam APBN 2026 masih sejalan dengan amanat Undang-Undang Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah (UU Nomor 1 Tahun 2022)?

‎Atau, jangan-jangan, kita sedang menyaksikan pergeseran makna dari desentralisasi fiskal menjadi recentralisasi bantuan sosial yang dibungkus dengan jargon efisiensi?

‎Pemerintah pusat menetapkan alokasi TKD 2026 hanya sekitar Rp693 triliun, turun lebih dari Rp200 triliun dibandingkan realisasi 2025 yang mencapai sekitar Rp919 triliun.

‎Secara bersamaan, pemerintah mengklaim telah menaikkan “program pusat untuk daerah” dari Rp900 triliun pada 2025 menjadi Rp1.300 triliun pada 2026.

‎Di atas kertas, tampak seolah dana untuk daerah meningkat.

‎Namun ketika ditelisik lebih dalam, komposisinya bergeser secara fundamental: bukan lagi dana pembangunan yang bersifat hak fiskal daerah (seperti DAU, DAK, DBH), melainkan dana belanja kementerian/lembaga dan bantuan sosial yang dijalankan langsung oleh pusat.

‎Inilah akar persoalan yang harus kita waspadai.

‎TKD bukan sekadar angka dalam tabel APBN; ia adalah simbol kepercayaan fiskal negara kepada daerah.

‎Dan ketika simbol itu dipangkas, maknanya lebih dalam daripada sekadar penghematan: ia bisa berarti pergeseran kekuasaan fiskal yang berpotensi mengabaikan amanat undang-undang dan menurunkan kualitas demokrasi ekonomi di daerah.

‎*Antara Efisiensi dan Erosi Keadilan Fiskal*

‎Pemerintah beralasan bahwa pemangkasan TKD dilakukan karena banyak dana daerah mengendap dan tidak terserap optimal.

‎Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa bahkan menyebut masih banyak pemerintah daerah yang tidak efisien dalam mengelola anggaran.

‎Logika ini sekilas masuk akal—ibarat orang yang boros diberi uang banyak, mungkin memang perlu ditegur agar lebih hemat.

‎Namun, analogi ini tidak sepenuhnya tepat.

‎Sebab dalam sistem fiskal nasional, dana daerah bukan “uang saku” yang diberikan atas belas kasih pusat, melainkan bagian dari hak konstitusional daerah berdasarkan formula yang diatur UU HKPD.

‎Ketika pusat menilai kinerja daerah buruk lalu memangkas hak fiskalnya secara sepihak, negara justru sedang menghukum mekanisme desentralisasi yang dibangunnya sendiri.

‎Kita tahu bahwa sebagian besar kabupaten/kota bergantung pada Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Bagi Hasil (DBH) untuk membayar gaji ASN dan PPPK, membiayai layanan dasar pendidikan, kesehatan, hingga infrastruktur kecil seperti jalan desa atau sanitasi.

‎Ketika TKD menurun, banyak daerah miskin fiskal kini menghadapi risiko gagal bayar gaji PPPK atau harus menunda proyek pembangunan publik.

‎Data dari APPSI dan Apeksi menunjukkan penurunan TKD mencapai 25–30 persen di tingkat provinsi, dan bahkan hingga 60–70 persen di beberapa kabupaten.

‎Ironisnya, program “pengganti” dari pusat yang diklaim mencapai Rp1.300 triliun justru didominasi oleh bantuan sosial: Program Keluarga Harapan, bantuan sembako, dan subsidi iuran BPJS.

‎Bukan bahwa bansos tidak penting, tetapi sifatnya tidak memperkuat kapasitas fiskal daerah.

‎Ibarat memberi ikan setiap hari kepada masyarakat tanpa memberi kail, kebijakan ini menenangkan sesaat, tapi melemahkan daya bangun ekonomi jangka panjang.

‎*Dampak Nyata: Daerah Kelimpungan, Keadilan Sosial Terancam*

‎Beberapa gubernur sudah bersuara lantang.

‎Dari Maluku Utara hingga Sumatera Barat, para kepala daerah melaporkan potongan drastis atas DBH dan DAU yang menyebabkan kekacauan dalam perencanaan APBD 2026.

‎Bahkan, sejumlah daerah sudah mengumumkan potensi defisit puluhan hingga ratusan miliar rupiah hanya untuk membayar gaji PPPK baru.

‎Di Blitar, misalnya, pemda harus memilih antara membayar pegawai, menunda pembangunan jalan, atau menunggak pembayaran kontraktor.

‎Dalam jangka pendek, tekanan ini mungkin mendorong pemerintah daerah menaikkan pajak dan retribusi daerah.

‎Banyak akademisi sudah memperingatkan bahwa kenaikan pajak seperti PBB dan pajak kendaraan bermotor bisa menjadi “jalan pintas” yang kontraproduktif karena menambah beban masyarakat dan pelaku usaha lokal.

‎Artinya, pemangkasan TKD bukan sekadar soal efisiensi, tetapi juga soal keadilan sosial dan daya beli rakyat.

‎Kita juga perlu mencermati risiko lebih besar: erosi otonomi daerah.

‎Ketika pusat menyalurkan dana langsung melalui kementerian dan lembaga tanpa melalui mekanisme transfer formal, perencanaan pembangunan daerah kehilangan makna.

‎RPJMD dan RKPD yang disusun kepala daerah menjadi dokumen administratif tanpa daya kendali atas alokasi riil anggaran.

‎Padahal, semangat otonomi daerah adalah memberi ruang bagi pemerintah lokal untuk menentukan prioritas pembangunan sesuai kebutuhan warganya.

‎Kini, semangat itu terancam berganti menjadi “otonomi terbimbing” di mana daerah hanya menjadi pelaksana proyek pusat.

‎*Pelanggaran UU Dana Bagi Hasil Ke Daerah?*

‎Dari sisi hukum fiskal, desain APBN 2026 yang menurunkan porsi TKD dan menggantinya dengan belanja kementerian berpotensi bertentangan dengan UU Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah.

‎Undang-undang ini secara jelas menetapkan bahwa Dana Bagi Hasil adalah hak daerah yang dihitung berdasarkan persentase penerimaan negara tertentu seperti pajak, sumber daya alam, dan cukai.

‎Hak ini tidak bisa digantikan oleh program kementerian yang bersifat diskresioner.

‎Jika porsi DBH diturunkan tidak sesuai formula atau dialihkan ke kanal belanja lain tanpa dasar hukum yang sah, maka praktik itu menyimpang dan melanggar dari mandat UU.

‎UU HKPD tidak memberi ruang bagi pusat untuk mengonversi TKD menjadi “belanja langsung ke daerah” kecuali melalui mekanisme Dana Tugas Pembantuan atau Dana Insentif Fiskal yang jelas parameternya.

‎Oleh karena itu, meskipun pemerintah menolak tudingan pelanggaran, secara yuridis langkah ini mengandung risiko legal dispute jika daerah memilih menggugat atau mengajukan uji materiil.

‎Kita perlu mengingat pelajaran dari masa lalu: pelanggaran kecil terhadap prinsip bagi hasil bisa menumpuk menjadi krisis kepercayaan fiskal.

‎Saat pusat menunda pembayaran DBH migas atau pajak, daerah penghasil menjerit. Kini, jika pola itu diperluas ke seluruh TKD, dampaknya bisa jauh lebih luas—dari defisit anggaran hingga potensi pelanggaran hak-hak ASN di daerah.

‎*Analogi: Negara Sebagai “Orang Tua Fiskal”*

‎Mari kita gunakan analogi sederhana. Negara ibarat orang tua dengan banyak anak (daerah).

‎Setiap anak punya kebutuhan berbeda—ada yang pintar, ada yang lemah, ada yang baru tumbuh.

‎Selama ini, transfer ke daerah adalah cara orang tua memastikan semua anak punya bekal cukup untuk tumbuh.

‎Namun kini, orang tua itu tiba-tiba memutuskan mengurangi uang jajan sebagian anak karena menilai mereka boros.

‎Sebagai gantinya, ia membeli makanan siap saji dan membagikannya langsung ke rumah masing-masing anak.

‎Hasilnya? Mungkin anak-anak tidak kelaparan, tetapi mereka kehilangan kemampuan mengatur rumah tangganya sendiri.

‎Mereka tidak lagi belajar mengelola uang, merencanakan masa depan, atau berinovasi.

‎Dalam jangka panjang, semua anak bergantung pada orang tua, dan otonomi yang dulu ditanamkan perlahan pudar.

‎Inilah risiko yang kita hadapi: negara yang terlalu paternalistik dalam mengelola fiskal.

‎*Jalan Tengah: Reposisi Kebijakan dan Waspada Desain Fiskal*

‎Kritik bukan berarti penolakan total terhadap reformasi TKD.

‎Ada benarnya bahwa sebagian daerah belum efisien dan perlu insentif berbasis kinerja.

‎Namun, reformasi tidak boleh dilakukan dengan membongkar fondasi keadilan fiskal yang sudah dibangun.

‎Pemerintah seharusnya memperkuat Dana Insentif Fiskal (DIF) sebagai penghargaan bagi daerah yang berhasil mengelola belanja dan pendapatan secara efisien, bukan malah memangkas keseluruhan TKD.

‎Oleh karena itu, evaluasi menyeluruh harus segera dilakukan.

‎Pemerintah perlu memastikan bahwa porsi DBH, DAU, dan DAK tetap sesuai formula UU, dan bila ingin menata ulang mekanismenya, harus melalui perubahan regulasi, bukan sekadar keputusan politik anggaran.

‎Pemerintah juga perlu menegakkan prinsip “ring-fencing” atau pelindungan dana minimal untuk fungsi vital seperti gaji PPPK, pendidikan, dan kesehatan.

‎Langkah ini penting agar pemotongan TKD tidak berujung pada krisis layanan publik. Terakhir, pemerintah harus transparan dalam publikasi formula DBH dan rincian pagu TKD 2026.

‎Hanya dengan keterbukaan data, kepercayaan fiskal antara pusat dan daerah bisa dipertahankan.


‎*Mengembalikan Keadilan Fiskal ke Rel yang Benar*

‎Pemangkasan TKD 2026 bisa menjadi preseden buruk bagi masa depan desentralisasi Indonesia.

‎Ia mengandung risiko hukum, sosial, dan ekonomi sekaligus.

‎Pemerintah harus menyadari bahwa kekuatan Indonesia bukan pada seberapa besar kontrol pusat, melainkan seberapa kuat daerah mampu berdiri di atas kakinya sendiri.

‎Jika pemerintah terus memaksakan pemotongan tanpa evaluasi menyeluruh, maka guncangan fiskal daerah adalah keniscayaan, dan itu akan cepat merambat ke pusat.

‎Saat itulah kita baru sadar bahwa efisiensi yang dilakukan tanpa keadilan justru adalah bentuk pemborosan terbesar dalam sejarah kebijakan publik kita.

Exit mobile version