Site icon sakawarta.com

Perang Dagang AS-China, RI Sebaiknya Mengonfrontasi Kebijakan Donald Trump

Guru Besar Ekonomi Unand Prof Syafruddin Karimi. Foto: ist.

Sakawarta, Jakarta – Ekonom dari Departemen Ekonomi Universitas Andalas, Syafruddin Karimi berpendapat, respons China terhadap tekanan tarif dari Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump merupakan sinyal kuat bahwa tatanan ekonomi global yang selama ini didominasi oleh kekuatan besar tidak lagi mampu menjamin keadilan dan kestabilan.

Ketika Amerika Serikat secara sepihak menaikkan tarif impor menjadi 104%, Tiongkok pun membalas dengan tarif 84%, menurut dia, ini bukan semata untuk melindungi kepentingan domestik, tetapi juga sebagai bentuk perlawanan terhadap praktik sepihak yang merusak prinsip multilateralisme.

“Konfrontasi ini menjadi cermin bahwa sistem perdagangan global membutuhkan reformasi mendalam yang melibatkan semua negara, bukan hanya segelintir pemain dominan,” kata Karimi dalam keterangan resmi dikutip Jumat (18/4/2025).

Ia menekankan, dunia tidak bisa lagi menerima sistem yang membolehkan satu negara menentukan arah arus dagang global tanpa konsultasi dan kesepakatan bersama.

Dengan demikian, jika aturan main hanya menguntungkan yang kuat, maka retaliasi akan menjadi norma baru dan sistem akan kehilangan legitimasinya.

Oleh karena itu, lanjut dia, momen ini harus dijadikan titik tolak untuk membangun tatanan ekonomi dunia yang lebih inklusif, berkeadilan, dan berbasis resiprositas sejati.

“Di mana negara berkembang memiliki ruang setara dalam menyusun aturan dan menjaga stabilitas global,” ucapnya.

Ia menilai, jika negara tidak mengonfrontasi tarif Trump tersebut, maka sama saja dengan memberikan legitimasi terhadap kekacauan sistemik yang sengaja diciptakan demi kepentingan sepihak.

“Bernegosiasi memang penting, tetapi negosiasi yang lahir dari tekanan dan intimidasi hanya akan melanggengkan ketimpangan dan memperkuat posisi dominan negara besar seperti Amerika Serikat,” katanya.

Ia menuturkan, ketika sebuah negara menggunakan kekuatan ekonominya untuk memaksa negara lain agar tunduk melalui tarif sepihak, maka itu bukan lagi kebijakan dagang.

“Itu bentuk perundungan global. Jika dunia diam demi ‘kerja sama yang damai’, maka sesungguhnya kita sedang membiarkan ekonomi internasional disandera oleh kepentingan politik yang sewenang-wenang,” tuturnya.

Dalam konteks ini, kata Syafruddin, Indonesia tidak boleh berdamai dengan kekeliruan, perundungan, atau bahkan genosida ekonomi dan sosial yang dilakukan atas nama dominasi geopolitik.

“Prinsip keadilan global menuntut agar negara-negara, terutama yang berkembang berani bersuara dan membangun solidaritas untuk menolak tekanan sepihak, bukan merayunya dengan konsesi. Dunia butuh tatanan yang baru, yang dibangun bukan atas dasar ketakutan, tapi keberanian untuk menegakkan keadilan,” katanya.

Exit mobile version