Site icon sakawarta.com

Shortfall Pajak dan Rencana Pembentukan Badan Penerimaan Negara

Achmad Nur Hidayat, Ekonom dan Pakar Kebijakan Publik UPN Veteran Jakarta. Foto: Instagram/@achmadnurhdyt.

Sakawarta, Jakarta – Apakah pembentukan Badan Penerimaan Negara (BPN) yang kini masuk dalam RKP 2025 benar-benar bisa menjadi jawab cepat atas ancaman shortfall pajak tahun berjalan?

‎Pertanyaan itu sederhana, tetapi implikasinya bukan. Dalam situasi ruang fiskal yang menipis dan kebutuhan pembiayaan prioritas yang kian besar, setiap gagasan reformasi administrasi—termasuk BPN—akan selalu ditimbang dari dua sisi: seberapa cepat menutup celah tahun ini, dan seberapa kuat menopang penerimaan di tahun-tahun berikutnya.

‎Penerimaan Tertahan, Struktur Terfragmentasi

‎Masalah permukaan kita jelas: penerimaan pajak melambat. Sampai pertengahan tahun, capaian penerimaan terhadap target cenderung menumpuk di kisaran pertengahan 40–50 persen, dengan beban akselerasi yang berat di semester kedua.

‎Pada saat yang sama, pos-pos konsumsi yang menjadi tulang punggung basis pajak—seperti PPN—sering kali menunjukkan pelunakan sejalan moderasi permintaan domestik dan harga komoditas yang tidak setinggi periode puncak.

‎Jika tidak ada push administrasi yang berarti, kita berhadapan dengan risiko shortfall yang nyata.

‎Masalah lebih dalam adalah arsitektur administrasi penerimaan yang masih terfragmentasi. Pajak, bea-cukai, dan PNBP berjalan dalam silo fungsi, data, dan proses yang berbeda.

‎Akibatnya, negara kerap kehilangan “pemandangan utuh” atas wajib bayar: perusahaan dengan margin tinggi tetapi setoran rendah, pola restitusi yang tidak selaras dengan profil risiko, atau praktik under/over-invoicing lintas dagang yang menipiskan basis.

‎Ketika data tidak menyatu, penegakan berbasis risiko pun kehilangan ketajaman. Di sinilah BPN ditawarkan sebagai instrumen integrasi yang diharap memulihkan single taxpayer & trader view dan menyatukan alur pendaftaran, pelaporan, pembayaran, restitusi, penagihan, sampai penindakan dalam satu orkestrasi.

‎Gagasan BPN bukan sekadar menukar papan nama, melainkan membangun “otak tengah” penerimaan negara.

‎Dengan BPN, policy tetap di Kementerian Keuangan agar keselarasan makro fiskal terjaga, sedangkan fungsi pemungutan dan penegakan ditaruh pada satu entitas operasional yang lincah, akuntabel, dan diikat kontrak kinerja yang terukur.

‎Keunggulan kuncinya terletak pada konsolidasi data dan proses: faktur PPN menyambung dengan deklarasi kepabeanan; profil PPh korporasi terbaca berdampingan dengan jejak transaksi lintas batas; PNBP—royalti pertambangan, iuran produksi, dividen BUMN—masuk ke dalam satu revenue account yang memakai standar tata kelola seragam.

‎Dengan begitu, compliance gap menyempit bukan karena tarif dinaikkan, melainkan karena administrasi menjadi rapih, cepat, dan adil.

‎Tetapi gagasan yang baik membutuhkan eksekusi kelembagaan yang cermat.

‎Memasukkan BPN ke RKP 2025 adalah sinyal arah yang sah dan penting, namun untuk melahirkan lembaga fungsional dibutuhkan desain organisasi, arsitektur TI terpadu, manajemen perubahan SDM, serta pengaturan kewenangan yang sinkron dengan kerangka perundang-undangan sektoral.

‎Banyak negara yang membentuk revenue authority menempuh transisi multi-tahun. Indonesia tidak akan berbeda: bila proses disusun matang, manfaatnya besar; bila tergesa, risikonya juga nyata.

‎Bayangkan kas negara sebagai pasien di UGD. Shortfall pajak adalah perdarahan yang harus dihentikan malam ini juga.

‎Tindakan yang paling manjur di UGD adalah first aid yang tepat: stabilisasi core tax system agar tidak ada gangguan layanan pada puncak pelaporan; validasi e-Faktur; post-refund audit untuk perkara material; penagihan berbasis risiko pada tunggakan prioritas; serta koordinasi DJP–DJBC–PNBP untuk menutup celah trade-based tax loss.

‎Mendirikan BPN itu seperti membangun rumah sakit baru dengan peralatan kelas dunia—sangat krusial untuk masa depan layanan, tetapi tidak akan menyelamatkan pasien malam ini jika denahnya pun belum selesai.

‎Karena itu, berharap BPN menutup celah penerimaan “tahun ini juga” adalah ekspektasi yang tidak selaras dengan watak kerja reformasi kelembagaan yang bertahap.

‎Argumen dan Data yang Perlu Ditekankan

‎Secara teknis, dampak BPN pada penerimaan akan memuncak setelah tiga prasyarat terpenuhi.

‎Pertama, integrasi data berjalan penuh, sehingga mesin risiko bisa membaca anomali lintas instrumen tanpa menunggu audit manual.

‎Kedua, service level operasional terpasang—waktu restitusi, hit rate audit, turnaround time sengketa, dan aging penagihan—membuat akuntabilitas terukur dan mendorong perbaikan berkelanjutan.

‎Ketiga, cutover TI dilakukan tanpa mengorbankan layanan inti.

‎Pada fase ini, data menjadi sahabat: misalnya, bila rasio restitusi terhadap setoran PPN di sektor tertentu melejit, sistem segera menandai dan mendorong desk audit terarah.

‎Atau bila modus under-invoicing muncul pada kelompok HS tertentu, mesin risiko di bea-cukai dan pajak berbagi temuan secara real-time. Dari sinilah penerimaan tumbuh “alami”—melalui kepatuhan yang membaik, bukan karena tarif naik.

‎Namun, sepanjang tahun berjalan, dinamika makro masih dominan: konsumsi rumah tangga, siklus harga komoditas, ekspor-impor, dan iklim investasi. Ini berarti strategi menutup celah 2025 harus mengandalkan apa yang sudah ada dan bisa dilakukan sekarang: memastikan sistem inti pajak stabil dan andal, mempercepat ekstensifikasi pemasok di rantai PPN, memperbaiki withholding enforcement (PPh 21/22/23), mempercepat penyelesaian sengketa untuk kasus material, dan memadatkan kerja bersama DJP–DJBC dalam penilaian kepabeanan dan transfer pricing.

‎Ditambah kebijakan yang mendorong permintaan riil—insentif yang tepat sasaran dan belanja yang stimulatif—basis pajak akan tertopang tanpa menunggu entitas baru beroperasi.

‎Jalan Cepat 2025: Menang Hari Ini Tanpa Menunggu BPN

‎Kemenangan cepat 2025 lahir dari disiplin administrasi.

‎Pemerintah perlu memetakan quick wins triwulanan yang spesifik: stabilisasi core tax agar nol gangguan di periode puncak; data matching PPN impor–PPN domestik di sektor bernilai tinggi; penanganan restitusi berbasis risk scoring sehingga uang cepat kembali pada wajib pajak patuh, tetapi ketat pada pola yang menyimpang; dan penagihan selektif yang menurunkan aging piutang pajak.

‎Di sisi perbatasan, joint task force DJP–DJBC yang memadukan valuation, post clearance audit, dan related party transaction akan memperkecil trade mispricing.

‎Ini semua bisa berjalan tanpa menunggu payung hukum baru, sekaligus menyiapkan “jalan aspal” bagi BPN supaya ketika lembaga itu lahir, ia langsung melaju di lintasan yang mulus.

‎Peta Jalan BPN: Bertahap, Terukur, Terjaga

‎Agar manfaat BPN maksimal dan risikonya minimal, peta jalan perlu bertahap. Tahun pertama, rampungkan blueprint kelembagaan, target operating model, dan arsitektur TI menyeluruh, sembari menjalankan pilot modul berdampak tinggi—misalnya case management PPN restitusi dan risk engine lintas DJP–DJBC—di beberapa kantor besar.

‎Tahun kedua, lakukan roll-out terbatas yang diperluas, lengkap dengan service level agreement yang diumumkan ke publik.

‎Tahun ketiga, go live nasional dengan pengamanan firewall pada layanan inti agar penerimaan tidak terganggu.

‎Di sepanjang jalan, narasi publik harus konsisten: BPN bukan tentang menaikkan tarif atau menambah beban, melainkan menurunkan biaya kepatuhan, mempercepat layanan, dan menutup kebocoran.

‎Komunikasi yang jernih akan mempertahankan dukungan politik dan sosial yang diperlukan untuk perubahan sebesar ini.

‎Tenangkan Ekspektasi, Perjelas Arah

‎Sebagai ekonom dan pakar kebijakan publik, saya memandang BPN sebagai elemen penting dari arsitektur penerimaan negara masa depan. Ia dapat menjadi “otak tengah” yang membuat administrasi lebih tajam, adil, dan efisien.

‎Tetapi saya juga perlu menegaskan batas kenyataan: BPN bukan “obat cepat” shortfall 2025.

‎Ketika data realisasi cenderung tertahan dan pos konsumsi melemah, kemenangan paling penting tahun ini tetap berasal dari administrasi yang disiplin—memperkuat sistem yang ada, menajamkan ekstensifikasi dan penegakan, serta menyelaraskan kerja lintas instrumen.

‎Dengan cara itu, risiko shortfall bisa ditekan hari ini, sementara BPN disiapkan rapi agar besok ia benar-benar menaikkan kapasitas penerimaan negara secara berkelanjutan.

‎Memasukkan BPN ke RKP 2025 adalah langkah yang boleh dan tepat sebagai penanda arah.

‎Tugas kita berikutnya memastikan ia dilahirkan dengan desain yang benar, waktu yang cermat, dan tahapan yang melindungi layanan inti. Negara membutuhkan pemasukan yang pasti; dunia usaha membutuhkan kepastian yang sederhana.

‎BPN dapat memberi keduanya—asal kita menahap, bukan mengebut.

Exit mobile version