Sakawarta, Jakarta – Publik wajar bertanya: bagaimana mungkin seseorang yang tidak mengikuti proses seleksi dari awal, tiba-tiba muncul di tengah jalan, lalu langsung menduduki kursi tertinggi Ketua Dewan Komisioner Lembaga Penjamin Simpanan (LPS)?
Pertanyaan ini muncul setelah nama Anggito Abimanyu, yang sebelumnya menjabat sebagai Wakil Menteri Keuangan (Wamenkeu), secara mendadak dipilih menjadi Ketua DK LPS.
Kejadian ini bukan hanya soal siapa yang terpilih, melainkan tentang bagaimana prosedur dijalankan dan apa pesan yang disampaikan kepada publik terkait komitmen transparansi.
Di satu sisi, tidak ada yang meragukan kapasitas Anggito. Ia dikenal sebagai ekonom senior dengan rekam jejak panjang di Kementerian Keuangan (Kemenkeu).
Namun, masalah utama terletak pada proses. Nama Anggito tidak ada dalam daftar awal calon DK LPS yang diseleksi panitia.
Ia baru masuk belakangan setelah Presiden meminta penambahan calon.
Artinya, ada mekanisme yang ditempuh di luar jalur normal.
Pertanyaannya, apakah langkah ini dapat dibenarkan demi “hasil terbaik,” atau justru menjadi contoh buruk bahwa aturan bisa disesuaikan demi orang tertentu?
Bayangkan sebuah pertandingan olahraga. Semua peserta sudah masuk arena, berlatih, dan bertanding sesuai aturan.
Namun, di tengah babak, wasit tiba-tiba mengizinkan seorang pemain baru masuk, tanpa melalui kualifikasi sejak awal.
Pemain baru itu kemudian berhasil menang karena kemampuannya memang di atas rata-rata.
Apakah kemenangan itu sah? Dari segi teknis, mungkin iya. Tapi dari sisi etika dan fairness, jelas menimbulkan rasa tidak adil bagi pemain lain. Begitulah kira-kira analogi proses seleksi LPS kali ini.
Masalahnya bukan pada kapasitas pribadi Anggito, melainkan pada mekanisme.
Dengan masuknya nama tambahan setelah seleksi berjalan, publik mendapat kesan bahwa pemerintah dan DPR menyimpang dari aturan yang berlaku.
Hal ini bisa menjadi preseden buruk. Jika prosedur bisa dilompati hanya demi mengakomodasi satu nama, maka ke depan integritas seleksi pejabat publik akan diragukan.
Seharusnya, jika ingin memasukkan calon baru, proses seleksi diulang sejak awal agar semua kandidat—termasuk Anggito—mendapat kesempatan yang sama.
Dampak Terhadap Kepercayaan Publik
LPS bukan lembaga sembarangan. Ia memegang amanah besar untuk menjamin simpanan masyarakat di bank, menjaga stabilitas sistem keuangan, dan ikut dalam resolusi krisis perbankan.
Karena itu, kredibilitas dewan komisionernya sangat menentukan kepercayaan publik.
Jika pemimpin lembaga ini dipilih dengan cara yang dipertanyakan, maka trust publik terhadap LPS ikut dipertaruhkan.
Padahal, dalam ekosistem keuangan, kepercayaan adalah modal utama yang lebih mahal daripada sekadar dana jaminan itu sendiri.
Isu ini bisa dipahami sederhana: dalam demokrasi, aturan main sama pentingnya dengan hasil akhir.
Sama seperti pemilu, yang tidak hanya dinilai dari siapa pemenangnya, tetapi juga dari bagaimana prosesnya berjalan jujur dan adil.
Publik bisa menerima siapapun pemenangnya selama yakin bahwa aturan tidak dilanggar. Begitu pula dalam seleksi pejabat tinggi lembaga keuangan, transparansi prosedur jauh lebih penting daripada siapa yang akhirnya duduk di kursi tersebut.
Solusi dan Jalan ke Depan
Untuk menjaga integritas sistem, pemerintah dan DPR perlu memberikan klarifikasi terbuka: apakah regulasi seleksi LPS memang memungkinkan penambahan calon di tengah jalan, ataukah ini sebuah pengecualian?
Jika aturan longgar, maka revisi regulasi perlu segera dilakukan agar kasus serupa tidak terulang.
Jika ternyata aturan dilanggar, maka langkah korektif harus ditempuh, bahkan bila perlu mengulang seleksi. Hal ini penting untuk menunjukkan komitmen pada prinsip akuntabilitas.
Pentingnya Merawat Proses
Kasus penunjukan Anggito sebagai Ketua LPS menunjukkan dilema klasik antara hasil dan proses.
Dari sisi hasil, bangsa ini mendapatkan seorang figur berpengalaman.
Namun dari sisi proses, ada tanda tanya besar yang berpotensi merusak kepercayaan publik.
Jika proses seleksi pejabat publik bisa dilonggarkan begitu saja, maka yang dipertaruhkan bukan hanya kredibilitas LPS, melainkan juga kredibilitas sistem pemerintahan kita.
Dalam kebijakan publik, merawat proses sama pentingnya dengan memastikan hasil. Karena tanpa proses yang benar, hasil yang baik pun akan kehilangan legitimasi. Itulah pelajaran utama dari kasus ini.