Sakawarta, Jakarta – Ekonom Universitas Gadjah Mada (UGM) Denni Puspa Purbasari angkat suara perihal keputusan Menteri Keuangan (Menkeu) Purbaya Yudhi Sadewa yang menggelontorkan anggaran negara senilai Rp200 triliun yang selama ini disimpan di Bank Indonesia (BI) untuk dialihkan dan ditempatkan ke Himpunan Bank Milik Negara (Himbara).
Kata Denni, bila kemudian Rp200 triliun Saldo Anggaran Lebih (SAL) dipindah dari Bank Indonesia ke Himbara, maka Himbara wajib memenuhi ketentuan Giro Wajib Minimum (GWM) yang sekitar 3%.
Namun, lanjutnya, sesuai ketentuan, Himbara wajib memberikan imbal kepada Pemerintah sebesar 80,476% dari reverse repo rate BI 7 hari yang 5% atau sekitar 4%. Maka itu, sesuai ketentuan juga Himbara tidak boleh mengalokasikan uang ini untuk Surat Berharga Negara (SBN).
“Bagaimana Himbara bisa memberikan imbal ini kepada Pemerintah? Jangan lupa bahwa imbalnya terhadap keseluruhan Rp200 triliun, termasuk yang disetor sebagai GWM. (Jika semula tidak ada setoran ke GWM dari Rp200T ini dan sekarang malah ada, apakah ini justru kontraksi?) Mungkin kita berpikir bahwa uang ini akan disalurkan ke kredit dengan bunga ‘asal di atas 4%’. Karena murah, semestinya, roda ekonomi akan berputar. Akankah ini terjadi?” kata Denni dalam keterangannya dikutip Selasa (16/9/2025).
Menurut dia, bisa saja terjadi, jika permintaan kreditnya ada dan cepat dieksekusi. Tapi ada satu hal yang perlu dipertimbangkan, kata Denni, yaitu bahwa uang Rp200 triliun ini adalah deposit on call yang sewaktu-waktu Pemerintah bisa menariknya untuk belanja.
“Sekarang bulan September. Kebiasaannya, di akhir tahun akan terjadi spike penyerapan. Jadi, durasi Rp200 triliun ini pendek. Menggunakannya untuk kredit jangka panjang di sektor riil atau obligasi korporasi AAA sekalipun dapat menyebabkan mismatch dalam likuiditas dan durasi. Belum lagi bila sebagiannya macet,” ucapnya.
Denni pun mempertanyakan kembali menyoal suku bunga. Bila bisa ditarik sewaktu-waktu, apakah Rp200 triliun yang dikucurkan Menkeu melalui BI ke Himbara ini lebih mirip sebagai deposito, giro, tabungan atau lainnya.
“Di Himbara, suku bunga deposito tertinggi 2,5%. Sementara untuk giro dan tabungan maksimal 1%. Jadi, 4% ini sebenarnya tidak murah juga. (Dan sebenarnya Rp200 triliun ini bukan tabungan Pemerintah sebagaimana tabungan masyarakat.) Bagaimana Himbara dapat membayar imbal 4% ini?” tuturnya.
Ia memprediksi, di mana ada potensi Himbara pada nantinya akan menaruh sebagian di valas, karena tidak dilarang.
“Apakah ini akan memicu carry trade? Kita tidak tahu. Namun, bila terjadi, Rupiah akan volatile dan terdepresiasi. Jadi, seperti teori katakan, mengejar keseimbangan internal (pertumbuhan dan kesempatan kerja) dapat menyebabkan tradeoff dengan keseimbangan eksternal (stabilitas harga dan kurs). Apakah ini yang akan terjadi? Kita tidak tahu pasti. Ilmu ekonomi bukan ilmu pasti. Selalu ada ‘ceteris paribus’,” katanya.
Ekonom dari Universitas Paramadina Wijayanto Samirin pun sependapat dengan pandangan Denni Puspa Purbasari.
“Dugaan saya, Himbara akan menggunakan dana tersebut bukan untuk memberikan kredit baru, tetapi merefinancing kredit lama. Dana hasil refinancing tersebut akan dibelikan SBN dan SRBI. Tidak melanggar dan tidak rugi,” kata Samirin.
Intinya, kata dia, kebijakan ini pertama tidak akan meningkatkan kredit sepanjang isu demand belum diperbaiki. Kedua, ujung-ujungnya dana lari ke SRBI dan SBN secara tidak langsung.
“Ketiga, meningkatkan inefisiensi dan risiko sektor perbankan yang tidak perlu,” katanya.
Sementara, Ekonom dari Universitas Brawijaya Noval Adib mengatakan, memang masalahnya di sektor riil. Kalau soal likuiditas Bank, BI sendiri sudah pernah menyatakan bahwa bank-bank nasional tidak ada masalah dengan likuiditas.
Ia menekanakan, masalahnya di sektor riil seperti daya beli masyarakat yang rendah, iklim investasi yang dirasa masih kurang mendukung atau menyulitkan investor, dan lain-lain di sektor riil.
“Jadi kalau pemerintah tidak segera membuat kondusif sektor riil maka penyaluran dana SAL Rp200 triliun tersebut tidak akan berdampak,” kata Noval Adib.