Taktik SMF Dalam Menekan Backlog Kepemilikan Rumah
Fokus utama intervensi pemerintah ada pada kelompok masyarakat miskin, rentan, dan MBR, di mana backlog kepemilikan dari ketiga kelompok tersebut sebesar 8,33 juta ruta dengan sebaran 6,38 juta di perkotaan, 1,19 juta di perdesaan pesisir, dan 0,75 juta di perdesaan non pesisir.
Sakawarta, Jakarta – PT Sarana Multigriya Finansial (Persero) (SMF) menginisiasi Focus Group Discussion (FGD) dengan topik “Peran Sektor Perumahan sebagai pendorong Perekonomian dan Pengentasan Kemiskinan Nasional” yang digelar oleh Direktorat Jenderal Pembiayaan Infrastruktur Pekerjaan Umum dan Perumahan, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR).
Adapun Perusahaan Pembiayaan Sekunder Perumahan di bawah Kementerian Keuangan yang juga Sekretariat Ekosistem Pembiayaan Perumahan tersebut akan mengungkap hasil detail FGD ini kepada Kementerian PUPR pada tanggal 25 Agustus 2024, bersamaan dengan peringatan hari Perumahan Nasional 2024.
Direktur Utama SMF Ananta Wiyogo menjelaskan, hasil kajian PT SMF bersama DTS Indonesia tahun 2023 lalu menunjukkan bahwa untuk setiap Rp1 Triliun yang diinvestasikan pada sektor perumahan, dapat meningkatkan PDB sekitar Rp1,9 Triliun, pengurangan kemiskinan hingga 6.107 orang, dan berdampak pada 185 sektor lainnya.
“Termasuk di dalamnya sektor pendidikan dan kesehatan, dua sektor penting dalam peningkatan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) dan pengentasan stunting,” kata Ananta Wiyogo dalam rilis pers dikutip di Jakarta, Senin (5/8/2024).
Ananta merinci, terdapat empat indikator dari kelayakan hunian, di antaranya akses air bersih, akses sanitasi layak, ketahanan bangunan, dan luas bangunan.
Berdasarkan data Survei Sosio Ekonomi Nasional (Susenas) Maret 2023 yang diolah SMF, sebanyak 26,92 juta rumah tangga (ruta) Indonesia atau sekitar 36,85% masih tinggal di rumah tidak layak huni (RTLH). Sedangkan backlog kepemilikan mencapai angka 9,91 juta (13,56%) ruta.
Ananta menekankan, poin penting yang perlu diperhatikan ialah terdapat irisan antara isu RTLH dan backlog kepemilikan, sehingga isu perumahan terbagi ke dalam tiga kelompok.
Pertama, masyarakat yang tinggal di hunian milik tidak layak sebanyak 22,43 juta ruta (30,71%). Kedua, masyarakat yang tinggal di hunian non milik tidak layak sebanyak 4.49 juta ruta (6,15%). Ketiga, backlog kepemilikan 5,42 juta ruta (7,42%).
“Sehingga jumlah rumah tangga Indonesia yang masih memiliki permasalahan perumahan mencapai angka 32,34 juta ruta (44.27%) pada tahun 2023,” ujarnya.
Ananta melanjutkan, SMF pun mengusulkan agar intervensi di sektor perumahan dapat berjalan efektif dan efisien dari sisi anggaran, maka intervensinya harus tersegmentasi berdasarkan empat dimensi sosio ekonomi.
Pertama, isu yang dihadapi, kelayakan hunian vs. kepemilikan. Kedua, kemampuan ekonomi, miskin dan rentan versus masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) vs non MBR. Ketiga, lokasi tinggal, perkotaan versus pedesaan non pesisir versus perdesaan pesisir. Keempat, jenis pekerjaan, formal versus informal.
“Fokus utama intervensi pemerintah ada pada kelompok masyarakat miskin, rentan, dan MBR, di mana backlog kepemilikan dari ketiga kelompok tersebut sebesar 8,33 juta ruta dengan sebaran 6,38 juta di perkotaan, 1,19 juta di perdesaan pesisir, dan 0,75 juta di perdesaan non pesisir,” katanya.
Sedangkan untuk isu kelayakan hunian dari ketiga kelompok tersebut berjumlah 19,81 juta ruta yang tersebar 9,32 juta di perkotaan, 6,84 juta di perdesaan pesisir, dan 3,66 juta perdesaan non pesisir.
Ananta berkata, untuk mendorong peran sektor perumahan dalam perekonomian nasional, pengentasan kemiskinan, dan menyelesaikan isu perumahan, maka pemerintah perlu segera mengambil intervensi konkret, efektif, dan terfokus pada backlog kepemilikan dan kelayakan hunian di kelompok masyarakat miskin, rentan, dan berpenghasilan rendah.
“Melalui program FLPP Tapak/Susun, Rent to Own Tapak/Susun, Kredit Bangun Rumah (KBR), Rumah sosial, Rumah Sewa, Bedah Rumah, Housing Micro Finance (HMF), Kredit Renovasi Rumah (KRR), dan program lainnya dengan memperhatikan tiga dimensi sosio ekonomi lainnya, yaitu lokasi, penghasilan, dan jenis pekerjaan, sehingga intervensi yang diimplementasikan juga efisien dari sisi anggaran,” tutur Ananta.
Berdasarkan simulasi dampak ekonomi dan sosial yang dilakukan SMF, dalam lima tahun ke depan diperkirakan sektor perumahan dapat berkontribusi pada peningkatan PDB hingga Rp1.628 Triliun dan berkontribusi dalam mengurangi angka kemiskinan sebanyak 5,23 juta orang (20,2%).
Untuk dapat mewujudkan dampak ekonomi dan sosial tersebut, kata Ananta, maka Ekosistem Pembiayaan Perumahan perlu mengorkestrasi strategi yang tersedia dari berbagai pemangku kepentingan dalam menyelesaikan permasalahan perumahan secara komprehensif.
Selain itu, Ekosistem Pembiayaan Perumahan juga perlu membuat masterplan perumahan yang mendorong kolaborasi dan sinergi para pihak, mulai dari Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Swasta, BUMN, BUMD, LSM, Publik, Masyarakat dan pihak lainnya yang menjadi satu kesatuan dalam Ekosistem Perumahan.
Terakhir, lanjutnya, mengoptimalkan penggunaan APBN dan APBD, serta melibatkan pendanaan yang bersumber dari pasar modal, dana CSR, hibah, lembaga donor, dan sumber pendanaan lainnya dalam merealisasikan inisiatif untuk mengatasi masalah sektor perumahan, mengentaskan kemiskinan, dan mendorong pertumbuhan ekonomi yang lebih inklusif dan berkelanjutan.
Sebagai informasi, FGD yang dihadiri oleh para pemangku kepentingan dari Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Kementerian Keuangan, Kementerian PPN/Bappenas, perwakilan perbankan, BP Tapera, para pakar dan pengamat perumahan bertujuan untuk mengidentifikasi tantangan, merumuskan strategi, dan rekomendasi kebijakan terkait peran sektor perumahan dalam mendorong pertumbuhan ekonomi dan pengentasan kemiskinan untuk mendukung program pemerintah selanjutnya.