Ekonom Ungkap Risiko Perjanjian Perdagangan Resiprokal Antara Indonesia-Amerika Serikat
Jika konsumen AS mudah beralih ke produk negara lain, maka ekspor kita bisa anjlok.

Sakawarta.com, Jakarta – Ekonom dari Universitas Andalas (Unand) Prof. Dr. Syafruddin Karimi menyoroti berbagai macam risiko perjanjian dagang antara pemerintah Indonesia dengan Amerika Serikat (AS).
Ia mengimbau Pemerintah Indonesia era Presiden Prabowo Subianto mesti bersikap waspada dan cermat dalam menyikapi Perjanjian Perdagangan Resiprokal dengan Amerika Serikat rezim Presiden Donald Trump yang diumumkan menjelang April 2025.
Syaruddin mencatat, sebelum 2 April 2025, produk Indonesia masuk ke pasar AS dengan tarif relatif ringan—antara 0 hingga 5 persen.
“Kini, setelah kesepakatan, kita justru menghadapi kenaikan tarif menjadi 19 persen, sebuah lonjakan yang menciptakan dilema struktural bagi produsen Indonesia,” kata Syafruddin dikutip Minggu (27/5/2025).
Menurut dia, bila beban tarif ini ditanggung langsung oleh eksportir nasional, maka marjin keuntungan akan tergerus dan daya saing menurun.
Namun, lanjutnya, bila beban itu dialihkan ke konsumen AS dalam bentuk harga jual yang lebih tinggi, maka risiko lain muncul seperti permintaan bisa turun, yang tergantung dengan seberapa elastis pasar AS terhadap produk nasional.
“Jika konsumen AS mudah beralih ke produk negara lain, maka ekspor kita bisa anjlok. Sebaliknya, jika pesaing kita dikenakan tarif yang lebih tinggi atau tidak mendapat akses istimewa seperti kita, maka kita bisa berharap terjadi trade creation—yakni pergeseran permintaan ke produk Indonesia,” ucapnya.
“Tapi itu pun bergantung pada seberapa kompetitif harga jual kita dibandingkan pesaing,” ujar Syafruddin lagi.
Ia menekankan dalam skenario terbaik, perjanjian ini akan mendorong ekspor nasional karena perubahan tarif relatif.
Sementara dalam skenario terburuk, justru akan terjadi trade diversion—di mana AS lebih memilih sumber lain yang lebih murah akibat ketidakseimbangan struktur tarif.
Karena itu, kata dia, yang paling menentukan bukan hanya isi perjanjiannya, tetapi bagaimana industri nasional meresponsnya.
“Dampak aktual perjanjian ini—apakah ekspor Indonesia ke AS meningkat atau menurun—baru bisa kita nilai secara pasti setelah data ekspor bulan September 2025 dirilis. Hingga saat itu, pemerintah dan pelaku usaha harus bersiap menghadapi segala kemungkinan dengan strategi ekspor yang adaptif dan berbasis keunggulan harga serta nilai tambah produk,” kata Syafruddin Karimi memungkasi.