Hot News

Empat Faktor Penyebab Kecelakaan Kerja di Kawasan Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP)

Dampak lebih serius akan dirasakan oleh pekerja setelah 10 tahun masyarakat/pekerja akan berpotensi mengalami gangguan fungsi tubuh.

Sakawarta, Jakarta — “Pakai-pakai dulu”, kalimat yang sering diucapkan oleh pengawas di kawasan Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP), Sulawesi Tengah (Sulteng).

Kepala Departemen Advokasi dan Pendidikan Publik TuK INDONESIA Abdul Haris mengatakan konteks tersebut menjadi tidak lucu jika kita membawanya ke ranah keselamatan kerja.

“Nyawa para buruh di kawasan IMIP bukanlah seperti aset atau investasi yang bisa ditimbang bobot biaya dan keuntungan (costs and benefits) demi menjaga produktivitas perusahaan serta menekan biaya operasional,” kata dia dalam keterangan tertulis dikutip Jumat (28/2/2025).

Federasi Pertambangan dan Energi Konfederasi Serikat Buruh Seluruh Indonesia (FPE KSBSI) melakukan survei terkait keselamatan kerja di kawasan IMIP yang dilakukan sejak bulan Mei sampai Juli 2024.

Survei ini merupakan salah satu upaya untuk menggali masalah utama di kawasan IMIP yang bisa mengakibatkan tingginya angka kecelakaan kerja, sepanjang sejarah berdirinya kawasan tersebut. Survei ini bertujuan memberikan kritik dan masukan terkait buruknya kondisi kerja di IMIP. Harapannya, ke depan adanya perbaikan kondisi kerja sehingga tidak akan terulang kembali kejadian mengenaskan terhadap pekerja.

Catatan Sembada Bersama Indonesia sejak tahun 2019 sampai 2025 telah terjadi 104 kecelakaan kerja di semua smelter nikel Indonesia, mengakibatkan meninggal dunia sejumlah 107 orang dan luka-luka 155 orang. Paling terbaru kejadian pada bulan februari tahun 2024 di departemen ferronickel PT Ocean Sky Metal Industry-seorang pekerja meninggal dunia.

Sementara data Rasamala Hijau Indonesia mencatat kecelakaan kerja smelter dan pertambangan sebanyak 38 insiden dengan total korban 120 dan 32 orang diantaranya meninggal dunia sepanjang tahun 2024.

Riswan Lubis Presiden FPE KSBSI mengatakan hasil survei menemukan empat hal penting penyebab tingginya kecelakaan kerja, faktor yang menjadi penyebab kecelakaan kerja di Kawasan IMIP, yaitu:

(1). faktor manusia termasuk kelalaian pekerja
(2). faktor lingkungan kerja (environmental)
(3). faktor APD yang kurang memadai
(4). faktor kerusakan alat.

Keempat faktor tersebut menunjukkan bahwa ada permasalahan besar terkait implementasi dari sistem K3 yang sudah mereka miliki di Kawasan IMIP. Lemahnya implementasi budaya keamanan dan K3 ini disebabkan oleh adanya pembiaran yang dilakukan oleh pengawas.

“Selain itu, kami juga menemukan bahwa hubungan kerja yang tidak harmonis antara pekerja TKA dan pekerja lokal memperparah buruknya implementasi sistem K3,” katanya.

Dari keempat faktor dan dua permasalahan implementasi K3 tersebut, pihaknya juga mendapati alasan-alasan lain yang dapat menambah potensi angka kecelakaan kerja di Kawasan IMIP, yaitu akumulasi kelelahan pekerja yang didapatkan dari tingginya waktu kerja dimana rata-rata pekerja bekerja 56 jam dalam seminggu atau 225 jam dalam sebulan.

Baca Juga  TuK Indonesia Seret Bank Mandiri ke Pengadilan

Hal ini harus menjadi perhatian bagi pemerintah karena tingginya jam kerja yang terus menerus dilakukan oleh pekerja di Kawasan IMIP tentu akan menghasilkan kondisi fisik yang lebih lemah dan meningkatkan paparan terhadap penyakit-penyakit lainnya.

Penelitian ini juga melihat fakta bahwa bagaimana pekerja perempuan memiliki tantangan tersendiri yang spesifik dengan gender akibat dari dominasi jumlah laki-laki yang ada di kawasan IMIP. Masalah minimnya sanitasi dan permasalahan higienitas di dalam kawasan IMIP juga mempengaruhi ketakutan pekerja perempuan di luar isu relasi kerja. Jam kerja tinggi juga dihadapi oleh pekerja perempuan, dimana mereka harus bekerja rata-rata 52 jam dalam seminggu.

“Ini menjadikan beban ganda yang dihadapi oleh pekerja perempuan lebih berat jika disandingkan dengan peran domestik mereka dan berakibat akumulasi lelah yang semakin tinggi,” ujarnya.

Catur Widi dari Rasamala Hijau mengatakan dalam kecelakaan kerja, buruh adalah korban ehingga dalam setiap upaya perbaikan pada sistem kecelakaan dan kesehatan kerja harus berbasis pada upaya melindungi buruh dalam bekerja.

“Selama ini buruh seringkali jadi pihak paling lemah ketika kecelakaan kerja atau setelah kecelakaan kerja, seperti dianggap yang paling bertanggung jawab ataupun tidak lagi mendapatkan kepastian kerja akibat kecelakaan kerja. Buruh sehat saja sering jadi korban PHK, apalagi yang kena dampak kecelakaan kerja,” ujarnya.

Alfian dari Sembada Bersama Indonesia mengatakan temuan-temuan dari survei yang dilakukan FPE KSBSI makin mengonfirmasi bahwa IMIP secara khusus, serta smelter-smelter nikel lain di Indonesia secara umum, hanya mementingkan produksi nikel daripada nyawa buruh.

“Karena itu kita bisa mengatakan bahwa kebijakan hilirisasi nikel yang dibanggakan oleh pemerintah, dalam praktiknya ditopang oleh jam kerja panjang, kecelakaan kerja yang mematikan dan berulang, upah rendah, dan lebih buruknya, adalah bahaya penyakit akibat kerja serius seperti kanker paru-paru, paru-paru hitam, mesothelioma,” katanya.

Pada tahun 2024 TuK INDONESIA melakukan penelitian terkait dampak dari pencemaran lingkungan terhadap pekerja dan warga sekitar kawasan IMIP. Abdul Haris Kepala Departemen Advokasi dan Pendidikan Publik TuK INDONESIA mengatakan komponen lingkungan pada air, udara dan tutupan lahan di sekitar kawasan IMIP ditemukan cemaran yang melebihi ambang batas.

Khususnya, cemaran terhadap udara dapat menimbulkan risiko kesehatan serius. Temuan ini dibuktikan dengan laporan puskesmas Bahodopi 2023, bahwa kasus ISPA mengalami lonjakan dari tahun sebelumnya sebesar 55.527 kasus, angka ini empat kali lebih tinggi dibandingkan dengan tahun sebelumnya.

“Dampak lebih serius akan dirasakan oleh pekerja setelah 10 tahun masyarakat/pekerja akan berpotensi mengalami gangguan fungsi tubuh dan yang lebih parah bisa berisiko terkena kanker karena polutan ini bersifat karsinogenik,” katanya.

Related Articles

Back to top button