Ekonomi

Hilirisasi Non-Tambang: Mendorong Pusat Pertumbuhan Baru dan Berkelanjutan di Luar Pulau Jawa

Melalui proses hilirisasi, nilai produk akhir bisa meningkat 3 hingga 5 kali lipat tergantung jenis produk.

*Opini: Eduard B Hutagalung, Direktur Eksekutif TERAS Institute

Pemerintah Indonesia di bawah kepemimpinan Presiden RI Prabowo Subianto, telah menetapkan agenda hilirisasi sebagai pilar utama transformasi ekonomi nasional. Pembentukan Satuan Tugas Percepatan Hilirisasi dan Ketahanan Energi Nasional melalui Keputusan Presiden Nomor 1 Tahun 2025 menegaskan komitmen untuk memperkuat industri pengolahan dalam negeri dan meningkatkan nilai tambah komoditas lokal.

Sementara sektor tambang selama ini menjadi fokus utama hilirisasi, potensi sektor non-tambang seperti pertanian, perkebunan, kelautan, dan perikanan memiliki peran strategis dalam mendukung pertumbuhan ekonomi yang lebih inklusif dan merata di seluruh wilayah Indonesia.

Hilirisasi non-tambang menjadi fondasi transformasi ekonomi Indonesia, dengan mengolah komoditas strategis lokal seperti kakao, karet, ikan dan kelapa menjadi produk setengah jadi atau jadi yang bernilai tinggi. Transformasi ini akan memperkuat struktur industri nasional, mengurangi ketergantungan terhadap ekspor bahan mentah, serta menciptakan nilai tambah yang menyebar hingga ke tingkat daerah.

Salah satu tujuan utama dari agenda hilirisasi ini adalah membentuk pusat-pusat pertumbuhan ekonomi baru di luar Pulau Jawa. Dengan memanfaatkan potensi lokal dan membangun industri berbasis sumber daya setempat, kawasan-kawasan seperti Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara, hingga Papua berpeluang menjadi simpul pertumbuhan industri baru.

Pulau Sumatera, komoditas utama meliputi kelapa sawit, karet, dan kopi, dengan potensi produksi lebih dari 27 juta ton CPO dan 2 juta ton karet per tahun, yang menyumbang lebih dari 60% produksi nasional. Peluang hilirisasi non-tambang di wilayah ini mencakup biodiesel, sabun, ban, minuman kopi dan kosmetik. Estimasi nilai ekonomi dari ketiga komoditas utama tersebut mencapai lebih dari Rp. 500 triliun per tahun.

Pulau Kalimantan juga berkontribusi besar dengan kelapa sawit dan karet, menghasilkan lebih dari 10 juta ton CPO dan 700 ribu ton karet, yang mencakup lebih dari 20% produksi nasional, dengan peluang hilirisasi pada bio energi dan bahan bangunan berbasis biomassa. Estimasi nilai ekonomi dari hilirisasi non-tambang kelapa sawit dan karet di Kalimantan dapat mencapai Rp. 27 triliun per tahun.

Pulau Sulawesi, dengan komoditas kakao, kelapa, dan jagung, memiliki potensi produksi sekitar 500 ribu ton kakao dan lebih dari 1,5 juta ton kelapa per tahun, menyumbang lebih dari 70% produksi kakao nasional. Produk hilirisasi dari wilayah ini termasuk cokelat olahan, santan kemasan, tepung kelapa, dan pakan ternak dengan total potensi nilai ekonomi dari hilirisasi non-tambang Pulau Sulawesi diperkirakan mencapai Rp. 22,5 triliun per tahun.

Untuk Pulau NTT & NTB, rumput laut dan hortikultura menjadi komoditas utama dengan potensi produksi sekitar 5 juta ton rumput laut per tahun, berkontribusi lebih dari 50% produksi rumput laut nasional. Potensi hilirisasi di wilayah ini meliputi agar-agar, kosmetik laut dan pupuk organik.

Melalui proses hilirisasi, nilai produk akhir bisa meningkat 3 hingga 5 kali lipat tergantung jenis produk. Misalnya, industri agar-agar, kosmetik laut, dan pupuk organik mampu menghasilkan nilai tambah bruto sekitar Rp150–250 triliun per tahun.

Jika diasumsikan kontribusi bersih ke PDB nasional sebesar 30% dari nilai hilirisasi (setelah dikurangi biaya produksi, logistik, dan lain-lain), maka potensi kontribusi ekonomi dari hilirisasi rumput laut di NTT & NTB dapat mencapai Rp. 45–75 triliun per tahun.

Baca Juga  Prabowo Panggil Bahlil, Godok Lifting Migas dan Percepatan Hilirisasi Industri

Pulau Maluku, dengan produksi ikan laut dan rumput laut sekitar 2 juta ton ikan tangkap per tahun, menyumbang lebih dari 15% produksi perikanan nasional, dengan peluang hilirisasi pada frozen fish, olahan laut kemasan dan minyak ikan.

Jika diasumsikan 30% dari hasil tangkapan diolah menjadi produk hilir bernilai tambah dengan rata-rata nilai ekspor sebesar USD 2.500 per ton, maka potensi devisa dari hilirisasi Maluku dapat mencapai sekitar USD 1,5 miliar atau setara Rp. 24 triliun per tahun.

Pulau Papua, yang dikenal dengan potensi sagu, ikan laut, dan kayu, memiliki hutan primer seluas lebih dari 30 juta ha dan potensi ikan sekitar 1 juta ton. Peluang hilirisasi di Papua mencakup sagu instan, plywood, dan mebel kayu ringan diproyeksikan dapat menghasilkan nilai tambah sekitar USD 1 miliar atau sekitar Rp.16 triliun per tahun.

Potensi hilirisasi non-tambang lainnya yang mendukung ketahanan energi nasional seperti Energi Baru Terbarukan terdapat juga, seperti Energi Tenaga Surya di NTT, Papua & Kalimantan sebesar 207,9 GW. Energi Panas Bumi di Sumatera & Sulawesi sebesar 23,9 GW, Energi Tenaga Angin di NTT, Sulawesi Selatan & Maluku Barat Daya sebesar 60,6 GW, Energi Tenaga Air (Hidro) di Papua, Kalimantan & Sumatera Utara, serta Energi Biomasa di Kalimantan, Sumatera & Sulawesi sebesar 32,6 GW.

Pusat-pusat pertumbuhan ini akan menjadi magnet bagi investasi, menciptakan lapangan kerja, dan memperkuat ekonomi lokal secara berkelanjutan. Kebijakan hilirisasi juga mendorong pengembangan infrastruktur pendukung, seperti jalan, pelabuhan, kawasan industri dan pergudangan yang terintegrasi dengan rantai pasok nasional dan global.

Ini menjadi pengungkit strategis dalam memperkuat konektivitas antar wilayah dan mengurangi kesenjangan pembangunan antar daerah. Industri tidak lagi hanya terpusat di wilayah barat Indonesia, tetapi tersebar secara lebih merata sesuai dengan potensi wilayah masing-masing.

Proses hilirisasi ini juga menjadi katalis dalam mewujudkan pembangunan yang ramah lingkungan dan inklusif. Dengan mengintegrasikan prinsip-prinsip ekonomi hijau dan efisiensi sumber daya, industri hilir non-tambang dapat berkembang secara berkelanjutan tanpa mengorbankan kualitas lingkungan.

Selain itu, partisipasi aktif masyarakat lokal, termasuk pelaku usaha mikro dan kecil, akan menjadi kunci dalam menciptakan transformasi ekonomi yang merata dan berkeadilan.

Hilirisasi non-tambang ini juga sejalan dengan pembentukan koperasi merah putih yg menjangkau wilayah pedesaan. Konsep one village one product akan dapat diterapkan untuk meningkatkan daya saing wilayah desa.

Dengan penyediaan infrastruktur yg terintegrasi akan memperkuat pengembangan potensi wilayah desa dalam konsep kluster ekonomi, yaitu wilayah kluster produksi, kluster pengolahan melalui industri tepat guna dan kluster area pemasaran sebagai bagian dari rantai pasok yang fokus pada komoditas strategis non-tambang sebagai bentuk kontribusi konkret terhadap target pertumbuhan ekonomi nasional hingga 8%. Upaya ini memperkuat pemerintahan dalam mempercepat industrialisasi berbasis potensi domestik.

Dengan demikian, hilirisasi non-tambang bukan hanya strategi ekonomi, tetapi juga strategi pembangunan wilayah. Ia adalah langkah konkret menuju Indonesia yang lebih mandiri, kompetitif dan merata-dimana setiap pulau menjadi bagian integral dari mesin pertumbuhan nasional sebagai landasan penting dalam menapaki jalan menuju Indonesia Emas 2045: Indonesia yang kuat karena bersandar pada kekuatan sendiri, dari Sabang hingga Merauke.

Related Articles

Back to top button