IISIA Apresiasi Kebijakan Pemerintah Kendalikan Impor, Geliatkan Produk Baja Nasional
Kinerja ekspor dan impor produk baja dengan kode HS 72 dan 73 sepanjang kuarter I Tahun 2024 menunjukkan perkembangan yang menggembirakan.
Sakawarta, Jakarta – Direktur Eksekutif The Indonesian Iron & Steel Industry Association (IISIA) Widodo Setiadharmaji menyampaikan apresiasi atas upaya yang telah dilakukan Kementerian Perindustrian (Kemenperin) dan Kementerian Perdagangan (Kemendag) dalam melakukan pengendalian impor untuk mendukung penggunaan produk baja nasional bagi pemenuhan kebutuhan baja domestik.
Ia mencatat, impor dalam bentuk bahan baku sebagai material utama proses produksi secara umum tidak mengalami kendala cukup berarti sehingga kegiatan produksi dapat berjalan dengan baik.
Menurut dia, dukungan kebijakan pemerintah sangat penting dan terus diperlukan mengingat kondisi baja global yang semakin menantang.
Adapun, kinerja ekspor dan impor produk baja dengan kode HS 72 dan 73 sepanjang kuarter I Tahun 2024 menunjukkan perkembangan yang menggembirakan.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), ekspor produk baja pada kurun waktu tersebut mengalami peningkatan sebesar 38,3% atau dari 3,81 juta ton menjadi 5,27 juta ton. Dari sisi impor juga terjadi perkembangan positif di mana volume impor turun dari 3,91 ton menjadi 3,51 juta ton atau turun sebesar 10,2%.
Perkembangan ini sesungguhnya merupakan kelanjutan tren positif sepanjang kurun waktu lima tahun terakhir (2019-2023) di mana ekspor terus tumbuh dari 5,99 juta ton pada tahun 2019 menjadi 18,19 juta ton pada tahun 2023 atau tumbuh sebesar 204%.
Sedangkan impor mengalami penurunan sebesar 10,2% dari 17 juta ton pada tahun 2019 menjadi 14,8 juta ton pada tahun 2023. Perlu dicatat, impor belum pernah mencapai level sebelum pandemi Covid-19 meskipun permintaan baja domestik terus mengalami pertumbuhan.
Ia menekankan, peningkatan kinerja ekspor dan impor ini akan berdampak pada peningkatan kinerja, khususnya perbaikan utilisasi kapasitas industri baja nasional.
Perbaikan kinerja impor, khususnya penurunan volume impor produk baja, tak lepas dari dukungan kebijakan pengendalian impor yang dilaksanakan oleh Kemenperin dan Kemendag.
Widodo mengatakan kebijakan pemerintah dalam pengendalian impor sangat diperlukan dalam menghadapi kondisi baja global yang mengalami kelebihan kapasitas, proteksionisme, dan praktik perdagangan tidak adil.
Selanjutnya, Widodo menjelaskan berdasarkan laporan OECD, industri baja global mengalami kelebihan kapasitas hingga 625 juta ton dan diperkirakan akan terus bertambah dalam beberapa tahun ke depan.
Di sisi lain, muncul kebijakan-kebijakan yang semakin protektif untuk melindungi industri baja dari masing-masing negara, khususnya negara-negara maju.
Amerika Serikat (AS) telah mengenakan bea masuk untuk produk baja sebesar 25% sejak tahun 2018 dan terus berlaku hingga sekarang bahkan tarif bea masuk ini berpotensi untuk dinaikkan lebih tinggi, khususnya untuk produk baja dari Tiongkok.
Proteksi pemerintah AS ini masih ditambah lagi dengan kebijakan perlindungan dari praktik perdagangan tidak adil melalui Anti Dumping (AD), Counterveiling Duty (CVD) dan Safeguards (SG) yang dilaksanakan secara masif. Langkah proteksi ini diperkirakan mengakibatkan tarif rata-rata impor produk baja ke AS mencapai 47,5%.
Di samping AS, Uni Eropa (UE) juga memproteksi industri baja mereka melalui kebijakan AD, CVD dan SG serta segera memberlakukan Carbon Border Adjustment Mechanism (CBAM) sebagai instrumen baru dengan dalih perlindungan lingkungan.
Kebijakan yang sama juga diambil oleh berbagai negara lainnya seperti India, Kanada, Australia, Meksiko, Argentina, Brasil dan lainnya, termasuk negara-negara di kawasan ASEAN, dalam melindungi industri baja masing-masing melalui berbagai instrumen kebijakan pemerintah.
“Kebijakan AD, CVD, dan SG selain menunjukkan sikap proteksionisme dari pemerintah global juga membuktikan bahwa praktik perdagangan tidak adil nyata-nyata marak terjadi di berbagai negara dan tentunya di Indonesia,” kata dia melalui siaran pers resmi dikutip di Jakarta, Rabu (22/5/2024).
OECD dalam laporannya menyimpulkan bahwa kondisi industri baja global tersebut telah mengakibatkan perusahaan baja yang paling kompetitif pun akan sulit bertahan hidup. Dengan demikian dapat dipahami langkah kebijakan pemerintah global dalam melindungi industri baja masing-masing.
Kelebihan kapasitas global, proteksionisme dan praktik perdagangan tidak adil akan menjadikan Indonesia sebagai sasaran impor dari negara lain jika tidak terdapat dukungan kebijakan yang memadai.
“Banjir impor merupakan momok yang menghantui dan mengancam keberlangsungan industri baja nasional,” ucapnya.
IISIA menyampaikan apresiasi dan mengharapkan dukungan lebih lanjut atas berbagai kebijakan yang telah dilakukan pemerintah.
Kebijakan P3DN oleh Kemenko Bidang Kemaritiman & Investasi dan Kementerian Perindustrian, Kebijakan Neraca Komoditas oleh Kemenko Bidang Perekonomian dan Kementerian Perindustrian, Kebijakan SNI oleh Kementerian Perindustrian dan Kementerian Perdagangan, Kebijakan Trade Remedies oleh Kementerian Perdagangan dan Kementerian Keuangan, Kebijakan Harga Gas Bumi Tertentu (HGBT) oleh Kementerian ESDM, Kebijakan scrap sebagai bahan baku daur ulang industri oleh Kementerian Perindustrian dan Kementerian KLHK dan berbagai kebijakan lainnya merupakan kebijakan yang sangat penting yang perlu terus ditingkatkan efektivitasnya.
Widodo menekankan, industri baja nasional merupakan industri vital bagi perekonomian nasional dan perwujudan visi Indonesia Emas 2045 mengingat industri baja merupakan induk dari segala industri (mother of all industries).
“Kebijakan pemerintah untuk mendukung keberlangsungan industri baja nasional semakin dibutuhkan dalam menghadapi tantangan global yang semakin berat agar tetap terjaga keberlangsungannya serta mampu menciptakan kemandirian industri nasional dalam rangka mewujudkan visi Indonesia Emas 2045,” ujarnya.