Ironi Pembangunan: Ketika Negara Maju Menjadi Eksportir Kerusakan

*Opini: Syafruddin Karimi, Guru Besar Departemen Ekonomi Universitas Andalas
Peter F. Gontha dalam artikelnya yang inspiratif, “A Nation’s True Wealth Lies Not in Its Soil, But in Its People”, menegaskan bahwa kekayaan sejati sebuah bangsa terletak pada kualitas manusia, bukan pada kelimpahan sumber daya alam. Ia mencontohkan Jepang, Korea Selatan, dan Singapura sebagai negara yang berhasil bangkit bukan karena kekayaan mineral, melainkan karena investasi besar pada pendidikan, etos kerja, dan nilai moral. Namun, dalam tataran realitas global, kisah sukses negara-negara tersebut menyimpan ironi yang tak bisa kita abaikan.
Bangsa Berkualitas, Tapi Rakus Sumber Daya
Mereka yang dianggap telah “maju secara moral dan etika” ternyata tetap menjadi bagian dari rantai global yang eksploitatif. Jepang dan Korea Selatan, misalnya, memang tidak memiliki kekayaan hutan tropis, tapi mereka adalah pengimpor utama kayu dari negara-negara berkembang—seperti Indonesia, Brasil, dan Republik Demokratik Kongo. Impor ini tidak selalu bersumber dari praktik berkelanjutan. Di balik furnitur minimalis dan arsitektur kayu khas Jepang, tersembunyi deforestasi besar-besaran di belahan bumi selatan.
Singapura pun demikian. Negara kecil dengan penduduk yang sangat terdidik dan teratur ini terus mengimpor pasir laut dalam jumlah besar dari negara-negara tetangga seperti Indonesia dan Kamboja. Pasir itu digunakan untuk reklamasi, memperluas wilayah daratnya, tetapi dampaknya adalah abrasi pantai, rusaknya ekosistem laut, dan hilangnya mata pencaharian nelayan di negara pemasok.
Lebih ironis lagi, Singapura adalah eksportir limbah elektronik ke negara berkembang, yang kemudian menjadi tempat pembuangan dan daur ulang limbah beracun secara informal, tanpa perlindungan lingkungan dan kesehatan yang layak. Bagaimana bisa negara yang membanggakan sistem pendidikan dan tata kelola mutakhir justru mengekspor risiko ekologisnya ke negara yang lebih miskin?
Human Capital Tanpa Etika Global
Inilah kontradiksi mendalam dalam narasi pembangunan manusia: apakah kecerdasan dan moralitas berhenti di batas negara? Apakah “pendidikan” hanya bermakna dalam konteks nasional sempit, tapi gagal menjadi kekuatan moral dalam sistem global? Jika SDM unggul di negara maju tetap menyumbang pada kerusakan planet demi kenyamanan mereka sendiri, maka konsep “manusia berkualitas” perlu ditinjau ulang.
Pendidikan yang benar seharusnya menumbuhkan kesadaran ekologis global, bukan hanya efisiensi dan inovasi ekonomi. Etika publik tidak cukup jika hanya berlaku di dalam negeri tapi abai terhadap jejak ekologis global. Jika bangsa yang disebut “maju” masih mengeksternalisasi biaya lingkungannya ke negara lain, maka mereka belum sepenuhnya “beradab”.
Ketimpangan Global yang Disamarkan
Masalahnya bukan hanya perilaku individu, tetapi juga struktur ekonomi-politik dunia yang timpang. Negara-negara maju mengeklaim “net zero emission”, sementara jejak karbon produksinya dipindahkan ke pabrik-pabrik di Asia dan Afrika. Mereka membangun taman kota, sementara debu batubara dari PLTU di Asia Tenggara memenuhi paru-paru masyarakat miskin. Mereka berbicara tentang keberlanjutan, sambil menyedot sumber daya dari negara yang belum selesai membangun kesejahteraannya.
Inilah ironi yang tak terbantahkan: negara yang memiliki SDM unggul masih bersikap predatoris terhadap sesamanya. Maka, kita tidak bisa lagi menerima begitu saja narasi bahwa pembangunan manusia di negara maju adalah solusi. Tanpa keadilan global dan etika lintas batas, pendidikan hanya menjadi alat supremasi, bukan pembebasan.
Menuju Etika Global Baru
Pembangunan manusia tidak boleh berhenti pada kompetensi teknis dan moralitas domestik. Kita butuh etika global—kesadaran bahwa pilihan konsumsi, investasi, dan kebijakan di satu negara berdampak langsung pada kehidupan dan lingkungan negara lain. Ini menuntut perubahan besar dalam kurikulum pendidikan, standar perdagangan, dan tanggung jawab korporasi multinasional.
Negara berkembang pun perlu bersuara. Mereka tidak boleh hanya menjadi korban atau objek belas kasihan. Mereka harus menuntut akuntabilitas, memperkuat posisi tawar, dan membangun SDM-nya sendiri agar tidak terus menjadi pelayan dalam sistem global yang timpang. Karena sejatinya, kualitas manusia tidak hanya diukur dari produktivitas, tetapi dari sejauh mana ia mampu memperjuangkan keadilan, merawat bumi, dan menghormati martabat bangsa lain.