Ekonomi

Kondisi SAL Disebabkan Berutang Ugal-ugalan

*Opini: Awalil Rizky, Ekonom Bright Institute

Sakawarta, Jakarta – Istilah Saldo Anggaran Lebih (SAL) menjadi perbincangan publik belakangan ini. Dipicu oleh kebijakan Menteri Keuangan (Menkeu) Purbaya Yudhi Sadewa yang memindah dana SAL sebesar Rp200 triliun dari rekening di Bank Indonesia ke Bank Himbara.

Sebelumnya, Sri Mulyani Indrawati pada akhir masa jabatan juga telah menyetujui pemakaian SAL sebesar Rp16 triliun untuk membiayai koperasi desa Merah Putih.

SAL merupakan akumulasi neto dari sisa lebih atau sisa kurang pembiayaan tahun-tahun anggaran yang lalu dan tahun anggaran yang bersangkutan. Ditambah atau dikurangi dengan koreksi pembukuan.

Posisi SAL hanya tercatat per akhir tahun, yang disajikan dalam Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) tahun bersangkutan. Bisa dikatakan bahwa SAL serupa dengan brankas duit pemerintah yang hanya bisa dipergunakan untuk keperluan tertentu, sesuai aturannya.

Perkembangan SiLPA

Realisasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) era reformasi selalu defisit. Artinya, tidak ada kelebihan uang karena kinerja pendapatan dan belanja. Namun, Pemerintah selalu berutang, maka sering terjadi nilainya melebihi kebutuhan menutupi defisit.

Fenomena kelebihan berutang itu disebut sebagai sisa lebih pembiayaan (SiLPA). Hanya pernah dialami sisa kurang pembiayaan (SiKPA) pada tahun 2005 dan 2007.

Nilai SiLPA pada masa lampau tidak terlampau besar, tertinggi pada 2019 sebesar Rp53,39 triliun. Nilainya melonjak lebih dari 4,5 kali lipat pada 2020 yang mencapai Rp245,60 triliun.

Pada tahun 2020, realisasi Pendapatan sebenarnya telah mencapai 96,93% dari Perpres yang sudah mengubah postur APBN karena kondisi covid. Sedangkan Belanja hanya mencapai 94,75%, artinya defisit lebih rendah dari yang direncanakan.

Namun, saat itu penarikan utang nyaris tidak dikurangi sehingga jauh melampaui defisit. Pembiayaan utang (penarikan dikurangi pelunasan) mencapai Rp1.229,63 triliun. Padahal, defisit hanya Rp947,70 triliun. Akibatnya SiLPA melonjak drastis, mencapai Rp245,60 triliun.

Pada 2021, realisasi Pendapatan bahkan melampaui target hingga mencapai 114,78%. Belanja pun melampaui target, namun hanya 101,32%. Defisit menjadi lebih rendah dari yang direncanakan.

Penarikan utang besar-besaran tetap dilakukan sehingga pembiayaan utang mencapai Rp870,54 triliun. Melampaui defisit yang sebesar Rp775,06 triliun. Nilai SiLPA pun mencapai Rp96,66 triliun.

Kinerja serupa terulang pada 2022, realisasi pendapatan mencapai 116,31% dan belanja sebesar 99,67%. Pembiayaan utang masih sebesar Rp696,02 triliun, jauh melampaui defisit yang Rp460,42 triliun. Nilai SiLPA kembali melonjak menjadi Rp130,56 triliun.

Kinerja SiLPA bisa dikatakan kembali normal pada tahun 2023 dan 2024. Masing-masing sebesar Rp19,38 triliun dan Rp45,7 triliun. Sejalan dengan besaran pembiayaan utang yang tidak terlampau jauh berbeda dengan defisit.

Penggunaan SAL sebagai Penerimaan Pembiayaan

SiLPA tidak boleh langsung dipergunakan pada tahun anggaran berikutnya, melainkan masuk dahulu pada akun SAL. Penggunaannya diatur oleh perundang-undangan, yang secara cukup rinci ditetapkan melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK). PMK dimaksud mengalami beberapa kali perubahan.

Pada aturan terkini, SAL digunakan untuk: a. pemenuhan kebutuhan kas temporer; b. pemenuhan pembiayaan anggaran; dan/atau c. stabilisasi. Untuk item a dan c hanya dipakai sepanjang tahun anggaran, tidak boleh melampaui akhir tahun buku. Sederhananya, mesti dikembalikan agar tidak mengubah nilai SAL yang tercatat awal tahun.

Melalui PMK No.88/2024, SAL bahkan bisa dipinjamkan pemerintah pusat kepada beberapa pihak lain. Pihak dimaksud adalah Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Badan Usaha Milik Daerah (BUMD), Pemerintah Daerah, dan Badan Hukum Lainnya (BHL). Serupa item kebutuhan kas kontemporer dan item stabilisasi, realisasinya hanya boleh selama tahun anggaran bersangkutan.

Baca Juga  Pajak Melemah, Ekonomi Tertekan: Sinyal Krisis atau Momentum Reformasi?

Sebelumnya, SAL diutamakan hanya untuk digunakan dalam rangka membiayai defisit APBN tahun anggaran berjalan atau item b di atas. Dan itupun mesti ditetapkan dalam Undang-Undang mengenai APBN, yang berarti juga bersama dengan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).

Penggunaan SAL sebagai penerimaan pembiayaan atau dalam rangka membiayai defisit justeru tidak dioptimalkan. Tidak dipakai sama sekali pada tahun 2014, 2015, 2017, 2018 dan 2022. Padahal, SiLPA yang terus dialami membuat posisi SAL makin besar.

Secara lebih khusus pada 2022 pada saat SiLPA melonjak pada tahun 2020 dan 2021. Dipergunakan pada 2023 dan 2024, namun hanya sebesar Rp35 triliun dan Rp56,38 triliun.

Optimalisasi Penggunaan SAL

Sebagaimana disampaikan terdahulu, SiLPA pada suatu tahun anggaran masuk terlebih dahulu pada akun SAL. Oleh karena penggunaan sebagai penerimaan pembiayaan APBN sering tidak terlampau besar, maka nilai SAL cenderung terakumulasi membesar.

Posisi SAL pada era kedua pemerintahan SBY sebenarnya relatif stabil, hanya sedikit bertambah atau berkurang tiap akhir tahun. Kondisi itu disebabkan SiLPA yang tidak terlampau besar, serta dipakainya SAL tiap tahun. Posisinya sebagai berikut: Rp98,91 triliun (2010), Rp105,32 triliun (2011), Rp70,26 triliun (2012), Rp66,59 triliun (2013), danRp86,14 triliun (2014).

Posisi SAL pada era pertama pemerintahan Jokowi terus bertambah dari tahun ke tahun. Kondisi itu disebabkan SiLPA yang cukup besar, serta SAL yang hanya sedikit atau tidak dipergunakan tiap tahun. Posisinya pada 2019 telah mencapai Rp212,70 triliun.

Posisinya melonjak menjadi Rp388,11 triliun pada 2020. Meski sedikit menurun menjadi Rp337,8 triliun pada 2021, kembali melonjak mencapai Rp478,96 triliun pada 2022. Posisinya relatif bertahan, yaitu Rp459,50 triliun pada 2023 dan Rp457,54 triliun pada 2024.

Dengan demikian, sejak era pertama pemerintahan Jokowi, berutang selalu lebih besar dibanding kebutuhan membiayai defisit. Bukan semata karena soalan pandemi covid, yang hanya menambah besarannya.

Sebagaimana umum diketahui, utang pemerintah berbiaya besar yang tergambar pada pembayaran bunga utang yang terus meningkat dari tahun ke tahun. Selain nominal, persentase bunga atas posisi utang rata-rata pun perlahan meningkat.

Kebijakan memindahkan sebagian SAL dari rekening Bank Indonesia ke Bank Himbara bisa dikatakan hanya terkait dengan “pemanfaatan temporer”. Mengapa tidak dipilih kebijakan menggunakannya untuk mengurangi kebutuhan berutang.

Pilihan kedua itu potensial mengurangi pembayaran bunga dan juga risiko refinancing APBN. Bisa ditambahkan keuntungan menstabilkan harga SBN dan dampak positif lainnya bagi perekonomian.

Masalahnya menjadi lebih kompleks jika ternyata dana SAL selama ini memang amat diandalkan untuk kebutuhan kas temporer Pemerintah. Kemungkinan juga untuk “membantu” likuditas beberapa BUMN dan Badan Hukum Lainnya milik negara.

Jika ini yang sebenarnya berlangsung, maka menjadi berlebihan narasi seolah kebijakan pemindahan berdampak besar pada sektor riil atau pertumbuhan ekonomi. Perlu dicermati, pemindahan pun akan berupa “deposit on call”. Menguatkan dugaan kebutuhan pemakaian “temporer” selama ini.

Pandangan penulis akan disampaikan lebih lanjut pada tulisan lain. Sementara ini, cukup jelas bahwa kinerja SAL selama ini merupakan akibat dari berutang yang ugal-ugalan selama era Jokowi. Ada pula indikasi pengelolaan SAL tidak optimal dan bisa saja “menyamarkan” praktik buruk sebagian pihak.

Related Articles

Back to top button