Ekonomi

Memutihkan Utang Macet Publik di Bawah Rp1 Juta Harus Terukur

*Opini: Achmad Nur Hidayat, Ekonom dan Pakar Kebijakan Publik UPN Veteran Jakarta.

Sakawarta, Jakarta – Bayangkan seorang buruh pabrik yang siap mengambil KPR rumah bersubsidi. Semua syarat terpenuhi, gaji tetap, tabungan ada.

Tapi namanya “berbintik” di SLIK OJK karena tunggakan lama Rp700 ribu. Kerikil kecil itu cukup membuat bank menutup pintu. Rencana Menkeu memutihkan utang macet di bawah Rp1 juta hadir untuk menyapu kerikil ini agar mereka bisa kembali berlari.

Pertanyaannya: tepatkah langkah ini, apa risikonya, dan bagaimana peranan ekonominya?

Masalah yang kita hadapi bukan sekadar angka satu juta rupiah. Ini tentang ketidakseimbangan antara tujuan sosial memperluas akses perumahan dengan praktik penilaian risiko yang menghukum berlebihan atas “cacat mikro”.

SLIK layaknya filter air: berguna menyaring kotoran besar, tapi bila saringannya terlalu rapat, air bersih pun tersendat.

Banyak calon debitur yang sejatinya bankable tersingkir hanya karena noda kecil yang tak lagi mencerminkan kondisi finansial saat ini.

Tepatkah Kebijakan Ini? Koreksi Teknis pada Sistem yang “Over-Blocking”

Saya menilai kebijakan ini tepat bila diposisikan sebagai koreksi teknis, bukan pengampunan menyeluruh.

Program rumah bersubsidi dibangun untuk menolong MBR memiliki hunian layak. Ketika filter risiko terlalu ketat terhadap tunggakan sangat kecil—yang kerap lahir dari kejutan pendapatan sementara atau miskomunikasi administratif—maka misi sosial program terganggu.

Pemutihan terbatas, terukur, dan bersyarat akan membuat mesin kebijakan berjalan mulus tanpa mematikan fungsi kehati-hatian.

Analogi sederhananya: kita bukan mematikan alarm, melainkan menyetel sensitivitasnya agar tak berbunyi untuk hal remeh.

Dari sisi efektivitas, beban fiskal untuk membersihkan “kerikil” mikro relatif kecil dibandingkan manfaat makro: serapan KPR subsidi lebih lancar, backlog perumahan berkurang, dan sektor konstruksi bergerak, dari pekerja harian, toko bahan bangunan, hingga industri furnitur.

Intinya, sedikit pelumas di titik macet dapat menggerakkan roda yang jauh lebih besar.

Plus, Minus, dan Risiko: Manfaat Besar, Tetapi Bukan Tanpa Bayang

Kelebihan paling nyata adalah peningkatan akses pembiayaan bagi MBR yang layak. Kebijakan ini akan mempercepat penyaluran unit bersubsidi dan memperbesar efek berganda ke perekonomian.

Secara sosial, ia mengoreksi bias masa lalu: noda kecil yang tidak lagi relevan dengan kemampuan dan niat bayar saat ini tak perlu mengunci masa depan.

Namun kita tak boleh abai pada sisi gelapnya. Risiko moral hazard muncul bila orang percaya negara akan selalu memutihkan tunggakan kecil.

Baca Juga  Dampak Dilepasnya Asuransi Tugu oleh Pertamina

Adverse selection mengintai ketika kriteria longgar justru mempersilakan masuknya profil berisiko.

Ada pula persoalan keadilan antar debitur: bagaimana menjelaskan kepada mereka yang sejak awal disiplin bahwa “tetangga” yang sempat menunggak mendapat keringanan?

Dari sisi tata kelola, apabila skemanya kabur—siapa menanggung, apa syaratnya, batasnya di mana—kepercayaan pasar dapat terganggu. Dan di tingkat pelaksanaan, sinkronisasi data lintas lembaga serta diferensiasi kasus “lalai biasa” versus “fraud” membutuhkan kecermatan yang tidak sederhana.

Mitigasi: “Tebus Bersyarat” dan Pagar Tata Kelola

Solusinya bukan pemutihan telanjang, melainkan Tebus Bersyarat.

Pertama, tetapkan batas keras maksimal Rp1 juta serta prinsip sekali seumur hidup per NIK.

Begitu bantuan dipakai, tak bisa diulang. Ini menutup peluang menunggak sengaja demi menanti pemutihan berikutnya.

Kedua, berlakukan masa cooling-off tiga sampai enam bulan sebelum akad KPR: calon penerima wajib menunjukkan disiplin bayar melalui auto-debit, setoran tabungan perumahan, dan ketepatan membayar utilitas.

Ketiga, terapkan shared burden: sebagian kecil dibantu program, sebagian ditanggung lembaga keuangan melalui write-down yang telah diprovsi, dan sebagian ditebus calon debitur sebagai tanda komitmen.

Dengan demikian, kebijakan bukan free lunch melainkan co-investment pada masa depan keuangan keluarga tersebut.

Keempat, gunakan alternative data scoring—riwayat gaji, kepesertaan ketenagakerjaan, transaksi e-wallet, dan pembayaran utilitas—untuk memotret kemampuan bayar terkini, sehingga “cacat historis” yang kecil tidak membutakan penilaian risiko.

Kelima, tegakkan pagar anti-fraud: identitas ganda, penipuan, atau tunggakan yang terkait pidana harus otomatis gugur.

Keenam, kuatkan payung hukum dan SOP lintas lembaga agar status “discharged under de minimis settlement” di SLIK tercatat rapi, memberi kepastian bagi bank dalam menilai.

Ketujuh, buat amplop anggaran yang jelas dan kecil, terkait target serapan rumah subsidi, agar kebijakan tetap disiplin dan kredibel.

Berpihak, Berhitung, Berjaga

Inti kebijakan publik yang baik adalah keberpihakan cerdas: menolong yang kecil tanpa melemahkan disiplin sistem.

Pemutihan utang macet di bawah Rp1 juta bagi calon pembeli rumah bersubsidi, bila dikerjakan sebagai Tebus Bersyarat dengan pagar yang tegak, adalah penyesuaian yang masuk akal. Ia menyapu kerikil tanpa merusak sepatu; menyalakan mesin perumahan rakyat tanpa mengundang kebut-kebutan.

Pada akhirnya, negara hadir untuk memastikan sensor tetap waspada terhadap risiko besar, namun cukup bijak untuk tidak membunyikan sirene bagi noda yang sudah tak relevan. Dengan begitu, keluarga pekerja dapat benar-benar berlari—dan sampai ke rumah pertamanya dengan selamat.

Related Articles

Back to top button