Site icon sakawarta.com

Menkeu Baru, Revolusi Produksi, dan Pertumbuhan Ekonomi

Gelar Serah Terima Jabatan, Purbaya Yudhi Sadewa Resmi Gantikan Sri Mulyani Indrawati Jadi Menteri Keuangan. Foto: Dok Kementerian Keuangan

Sakawarta, Jakarta – Pergantian Menteri Keuangan (Menkeu) dalam beberapa hari terakhir menarik untuk dicermati karena pergantian tersebut juga akan disertai oleh perubahan fokus kebijakan dari supply side view ke demand side view.

Hal ini tercermin pada pernyataan Menkeu baru Purbaya Yudhi Sadewa dalam rapat di komisi XI, Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) pada Rabu, 10 September 2025 yang akan mendorong pertumbuhan menjadi 6–7 persen dengan instrumen utama menambah likuiditas ke bank-bank pemerintah.

Perubahan kebijakan dari supply side view ke demand side view mengingatkan kita pada laporan Bank Dunia untuk Indonesia dalam lebih satu dekade lalu berjudul “Indonesia: Avoiding The Trap”.

Laporan ini mengulas pentingnya revolusi sisi produksi untuk mengatasi permasalahan struktural, seperti ketimpangan antar pendapatan per kapita dan antar wilayah di Indonesia.

Selama ini perekonomian nasional mengalami jumping transformation, yaitu melompat dari perekonomian berbasis sektor primer ke tersier. Sementara, kegiatan industri (sekunder) tidak berkembang optimal dan bahkan kontribusinya dalam output nasional mengalami penurunan.

Kecenderungan ini ditunjukkan oleh pertumbuhan ekonomi sekitar 5,0 persen dalam 10 tahun terakhir yang diikuti oleh gini ratio dan indeks Williamson yang tinggi. Gini ratio menunjukkan ketimpangan antar pendapatan per kapita dan indeks Williamson menunjukkan ketimpangan antar daerah.

Akar permasalahan ketimpangan di masa lalu hingga saat ini terletak pada strategi kebijakan makro yang mengutamakan sisi permintaan (demand side view) dibanding sisi pasokan (supply side view), seperti yang sedang dilaksanakan oleh menteri keuangan baru, Purbaya Yudhi Sadewa.

Insentif untuk menggerakkan perekonomian nasional lebih terfokus pada instrumen suku bunga, kemudahan akses pembiayaan (financial inclusion) dan kenaikan rasio antara kredit dengan simpanan (loan to deposit ratio).

Akibatnya, dengan sisi produksi yang tidak tumbuh optimal, kelebihan likuiditas di sektor perbankan membuat kredit perbankan lebih banyak mengucur untuk membiayai kegiatan konsumsi dan perdagangan dibanding investasi.

Pengalaman banyak negara, kelebihan likuiditas di sektor perbankan, tanpa kerangka kebijakan yang solid di sisi produksi membuat penyaluran kredit perbankan menghasilkan kredit macet. Bahkan moral hazard yang ditandai oleh seleksi calon penerima kredit secara tidak profesional.

Hal ini sejalan dengan ekonom dari Banking Academy of Vietnam, Lan Chu Khanh dan Hung Chu Viet dari jurusan matematika, Washington dan Lee University, Amerika Serikat (AS) menerbitkan tulisan berujudul: Is too much liquidity harmful to economic growth? Penelitiannya menggunakan sampel 136 negara.

Kesimpulan penelitiannya menyebutkan bahwa pada tahap awal tingginya likuiditas keuangan berdampak positif terhadap pertumbuhan ekonomi. Namun, likuiditas keuangan tinggi yang tercermin pada proporsi penyaluran kredit kepada sektor swasta terhadap Gross Domestic Product (GDP) akan berdampak negatif terhadap pertumbuhan ekonomi jika proporsinya mencapai 104%.

Hasil estimasi menggunakan data tahun 1961 – 2000 ditemukan bahwa peningkatan likuiditas perekonomian yang tercermin pada penyaluran kredit perbankan berdampak positif terhadap pertumbuhan ekonomi. Jika data yang digunakan adalah data tahun 1961 – 2015, maka pengaruhnya menjadi sangat kecil dan secara statistik tidak signifikan.

Hasil penelitian di atas memberikan peringatan bahwa langkah menteri keuangan baru, Purbaya Yudhi Sadewa menambah likuiditas ke dalam perekonomian sebagai strategi utama mendongkrak pertumbuhan ekonomi tidak akan cukup dalam jangka menengah dan panjang. Hal terpenting dilakukan adalah menggunakan insentif fiskal untuk menggerakkan supply side revolution.

Permasalahan utama perekonomian nasional bukan pada sisi permintaan (demand side), tetapi pada sisi suplai (supply side). Hal ini tercermin pada fenomena premature deindustrialization. Dimana, bangsa Indonesia belum sempat menjadi “kaya” (memasuki fase industri yang mapan) lalu berpindah ke sektor perdagangan dan jasa.

Singkatnya, solusi dari permasalahan perekonomian nasional saat ini bukan pada demand side, tetapi revolusi sisi produksi untuk mempercepat transformasi struktural perekonomian nasional, yaitu bergeser dari pertumbuhan yang digerakkan oleh eksploitasi Sumber Daya Alam (SDA) ke produktifitas penggunaan tenaga kerja dan modal.

Beberapa faktor yang harus dibenahi, yaitu: Pertama, kerangka kebijakan makroekonomi nasional tetap fokus pada supply side view, tidak mengubah arah ke demand side view yang saat ini menjadi kata kunci kebijakan menteri keuangan baru. Kerangka kebijakan makro nasional adalah bauran demand side view dengan supply side view.

Kedua, menciptakan aglomerasi ekonomi baru dan mengatasi kekurangan ketersediaan infrastruktur, khususnya di Kawasan Timur Indonesia (KTI) dengan cara meningkatkan belanja infrastruktur sehingga setara dengan Tiongkok yang lebih dari 10% GDP-nya.

Ketiga, membenahi kualitas angkatan kerja nasional yang masih didominasi oleh tenaga kerja lulusan Sekolah Dasar (SD) hingga Sekolah Menengah Pertama (SMP). Pengalaman Tiongkok menunjukkan bahwa pertumbuhan industrinya diikuti oleh peningkatan permintaan tenaga kerja lulusan pendidikan teknik dan kimia.

Keempat, melakukan kaji ulang terhadap semua kebijakan yang menyebabkan inefisiensi industri serta tidak memberikan insentif bagi kompetisi dalam industri nasional. Salah satunya, kebijakan quota impor, kebijakan batas bawah dan atas harga atau tarif di sejumlah komoditi atau sektor ekonomi utama.

Kebijakan ini menghambat peningkatan efisiensi dan pertumbuhan produktifitas industri nasional. Pengalaman negara maju menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi jangka panjang harus didorong oleh pertumbuhan produktifitas (Total Factor Productivity – TFP Growth).

Exit mobile version