Sakawarta, Jakarta – Ada saja akhir-akhir ini narasi dan ide berbahaya yang tidak waras. Tidak ada angin, tidak ada sebab, tiba-tiba ada narasi dan usul yang datang dari partai politik, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) dan DPR, agar pemerintah mengambil alih paksa saham PT Bank Central Asia Tbk (BCA).
Ide hostile take-over seperti ini, jika digiring ke politik dan kekuasaan, sangat berbahaya. Jika diteruskan, sistem ekonomi politik Indonesia akan rusak dan menjadi hutan rimba, yang menyesatkan.
Semestinya ide tersebut tidak perlu diindahkan oleh presiden karena akan merusak tatanan perbankan. Setelah restrukturisasi yang melelahkan dan bahkan menyakitkan, kondisi perbankan sebenarnya sudah bertransformasi cukup kuat. Ini merupakan kebijakan sistem keuangan dan perbankan pascareformasi. Narasi sesat yang bergulir ini akan merusak sistem yang sudah berkembang baik selama ini.
Kita ingat krisis nilai tukar pada tahun 1998 menghancurkan perbankan yang sangat rapuh ketika itu. Namun, krisis merupakan cambuk untuk memberbaiki tatanan perbankan melalui restrukturisasi dan perbaikan arsitektur kelembagaan perbankan agar semakin kuat.
Hasilnya cukup baik, bahkan sangat mengesankan. Tatkala krisis hebat melanda sektor finansial global pada tahun 2008, pasar modal ambruk lebih buruk daripada tahun 1998. Namun perbankan sudah lebih kuat dan tahan terhadap guncangan krisis tersebut. Krisis akibat Covid-2019 juga mengguncang ekonomi dunia, tetap perbankan tetap tegak berdiri, meskipun loan at risk (LAR)-nya naik dua kali lipat. Begitu Covid, usai perbanknan normal kembali.
Anarki Politik Kebijakan
Kini ada ide sesat, tidak wajar, dan bisa dianggap tidak waras untuk mengusik dunia perbankan agar bank swasta diambil alih oleh negara. Jika ini dilakukan, kepercayaan pasar akan runtuh. Bank tidak akan dipercaya dan tidak bakal ada yang menyarankan investasi di BCA lagi. Saham BCA dipercaya publik karena pengelolaannya baik dan mutlak harus transparan karena merupakan bank publik.
Bagaimana pun, kinerja BCA dan bank-bank lain –termasuk bank-bank anggota Himpunan Bank Milik Negara (Himbara)– harus dilihat sebagai pencapaian dalam sistem keuangan dan perekonomian nasional. Bank BCA dan bank lain, termasuk bank Himbara, telah menjadi pilar perekonomian dan semestinya jangan diganggu.
Kontribusinya terhadap perekonomian nasional sangat signifikan, baik dalam pertumbuhan kredit, mendorong dunia usaha secara luas, dan membayar pajak. Kinerja bank tersebut lebih baik dari bank-bank lainnya, dan sekaligus berperan sebagai pilar perekonomian nasional.
Ide dan narasi beruntun mengambil alih saham BCA tanpa sebab merupakan tindakan anarki politik kebijakan. Karena datang dari partai politik, maka ini alarm bahaya bagi iklim dan ekosistem perekonomian nasional. Bukan tidak mungkin pasar melihat di dalam negara ada bandit-bandit untuk memberangus pasar dan pelaku ekonomi.
Tetapi akhirnya ada angin segar yang membuyarkan narasi sesat tersebut. Menteri Investasi dan Hilirisasi/Kepala BKPM yang juga Chief Executive Officer (CEO) Badan Pengelola Investasi (BPI) Danantara, Rosan Perkasa Roeslani, sudah menanggapi secara tegas bahwa tidak ada ide dari Danantara dan pemerintah yang mendorong Danantara “mengambil paksa” 51% saham BCA.
Rosan membantah rumor tersebut dan menegaskan kembali bahwa Danantara tidak memiliki rencana untuk mengakuisisi saham mayoritas BCA. “Nggak ada,” jawab Rosan singkat usai menghadiri rapat tertutup bersama Komisi XI DPR RI, 19 Agustus 2025.
Ketegasan seperti ini penting untuk menghalau bandit-bandit pemburu rente, yang mengembuskan narasi sesat tersebut. Negara harus menjaga dan membangun pasar yang sehat, mendorong pertumbuhan dunia usaha yang kuat. Bukan sebaliknya, masuk ke dalam pasar, ikut campur tangan secara tidak bermutu, yang kemudian merusaknya.
Narasi Berbahaya Ambil Alih Bank BCA

Bank BCA. Foto: ist.