Site icon sakawarta.com

Pergantian Menkeu dari Sri Mulyani ke Purbaya Yudhi Sadewa Buka Babak Baru Kebijakan Fiskal RI

Guru Besar Ekonomi Unand Prof Syafruddin Karimi. Foto: ist.

Sakawarta, Jakarta – Ekonom dari Universitas Andalas (Unand) Prof. Dr. Syafruddin Karimi mengatakan pergantian Menteri Keuangan (Menkeu) dari Sri Mulyani Indrawati ke Purbaya Yudhi Sadewa membuka babak baru dalam kebijakan fiskal Indonesia.

‎Menurut dia, Presiden Prabowo Subianto memilih Purbaya yang merupakan ekonom lulusan Purdue University, untuk menggantikan Sri Mulyani yang selama ini dikenal sebagai simbol disiplin fiskal dan kredibilitas di mata pasar global.

‎”Sehari setelah dilantik, Purbaya menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia sebesar delapan persen bukanlah hal mustahil, sebuah pernyataan yang segera memantik optimisme sekaligus keraguan di kalangan pelaku ekonomi,” kata Syafruddin dalam keterangannya dikutip Selasa (9/9/2025).

‎Syafruddin berpendapat, Sri Mulyani yang merupakan lulusan University of Illinois Urbana-Champaign, membangun reputasi sebagai teknokrat berintegritas dengan orientasi kehati-hatian.

‎”Ia selalu menekankan pentingnya disiplin fiskal, transparansi, dan konsistensi dalam mengelola keuangan negara,” tutur Syafruddin.

‎Selama masa jabatannya, lanjut Syafruddin, pasar internasional melihat Indonesia sebagai negara berkembang yang mampu menjaga stabilitas makro meski diterpa berbagai krisis global.

‎”Dalam konteks pandemi COVID-19, ia berani mengambil langkah ekspansif untuk menyelamatkan perekonomian, tetapi segera mengembalikan jalur fiskal ke arah disiplin ketika krisis mulai reda (World Bank, 2021). Kredibilitas ini bukan hanya aset nasional, melainkan juga modal politik di mata dunia yang kini hilang seiring kepergiannya,” ujarnya.

‎Syafruddin menerangkan, kini Purbaya hadir dengan gaya berbeda. Latar belakangnya sebagai insinyur elektro Institut Tekhnologi Bandung (ITB) dan ekonom Purdue Purbaya membentuk pendekatan yang lebih kuantitatif, analitis, dan cenderung berani mengambil risiko.

‎Menurut dia, pengalaman panjang Purbaya di sektor swasta dan lembaga pemerintah memberinya perspektif pragmatis untuk menghubungkan model ekonomi dengan praktik kebijakan.

‎”Ketika ia menyatakan pertumbuhan delapan persen bukan mustahil, ia ingin menunjukkan bahwa dengan keberanian ekspansi, sinergi pemerintah dan swasta, serta desain kebijakan yang tepat, Indonesia bisa melampaui keterbatasan historisnya. Pernyataan ini jelas kontras dengan gaya Sri Mulyani yang cenderung realistis dan konservatif dalam menetapkan target,” tuturnya.

‎Dari sisi filosofi, lanjut Syafruddin, Sri Mulyani percaya bahwa stabilitas merupakan prasyarat pertumbuhan. Sementara, Purbaya tampak meyakini bahwa pertumbuhan tinggi dapat diraih jika pemerintah berani mendorong ekspansi.

‎Dengan demikian, kata dia, pergeseran filosofi ini memiliki implikasi besar. Pasar internasional yang sebelumnya percaya pada “jangkar stabilitas” Sri Mulyani kini harus menilai ulang konsistensi Indonesia.

‎”Jika Purbaya terlalu fokus pada ambisi angka tanpa memperhatikan kredibilitas fiskal, risiko pelemahan rupiah, naiknya yield obligasi, dan keluarnya arus modal akan semakin nyata (Bloomberg, 2025),” ucap Syafruddin.

‎Sebaliknya, lanjut dia, bila Purbaya mampu meyakinkan pasar bahwa target pertumbuhan tinggi dibarengi dengan reformasi struktural, efisiensi belanja, serta iklim investasi yang kondusif, maka Menkeu yang baru bisa mengubah skeptisisme menjadi optimisme baru.

‎”Namun, mencapai delapan persen pertumbuhan bukan perkara mudah. Produktivitas tenaga kerja Indonesia masih rendah dan jebakan pendapatan menengah tetap menghantui (ADB, 2024),” katanya.

‎Menurut Syafruddin, infrastruktur logistik masih menjadi hambatan daya saing ekspor, basis pajak yang sempit membatasi ruang fiskal, sementara ketidakpastian global akibat perang dagang dan kebijakan tarif Amerika Serikat menekan prospek perdagangan (WTO, 2025).

‎”Dalam kondisi ini, target delapan persen lebih menyerupai pernyataan politik ketimbang kalkulasi ekonomi,” kata Syafruddin.

‎Meski demikian, optimisme Purbaya tidak bisa dianggap sia-sia. Syafruddin menilai pernyataan Menkeu pengganti Sri Mulyani Indrawati tersebut memberi sinyal bahwa Indonesia tidak ingin puas dengan pertumbuhan lima persen yang stagnan selama dua dekade.

‎”Keberanian menawarkan visi ambisius bisa menjadi dorongan psikologis bagi sektor swasta, birokrasi, dan masyarakat luas. Pertanyaannya bukan hanya apakah delapan persen dapat tercapai, melainkan apakah Purbaya mampu menyatukan optimisme dengan disiplin fiskal yang diwariskan Sri Mulyani,” tuturnya.

‎Syafruddin menambahkan, jika Purbaya berhasil, Indonesia bisa membuka babak baru pembangunan berkelanjutan. Namun, jika gagal, ambisi tinggi justru berisiko memicu instabilitas ekonomi.

‎Syafruddin menegaskan, dengan demikian pergantian Menkeu ini bukan sekadar rotasi kabinet.

‎”Ini adalah pertarungan dua pendekatan: kehati-hatian versus ekspansi, kredibilitas versus ambisi. Sri Mulyani mewariskan stabilitas yang dihormati dunia, sementara Purbaya membawa optimisme baru yang berani menantang batas. Masa depan ekonomi Indonesia kini bergantung pada apakah Purbaya mampu membuktikan bahwa pertumbuhan delapan persen benar-benar bisa diraih tanpa mengorbankan kestabilan makro yang selama ini menjadi fondasi kekuatan ekonomi nasional,” kata Syafruddin Karimi.

Exit mobile version