Risiko Penutupan Selat Hormuz dan Peran Strategis Indonesia di Tengah Perang Iran-Israel
Diam bukanlah netralitas, melainkan kegagalan dalam menjalankan amanah global.

Sakawarta.com, Jakarta – Guru Besar Departemen Ekonomi sekaligus Ekonom dari Universitas Andalas (Unand) Prof. Dr. Syafruddin Karimi mengatakan serangan Udara militer Amerika Serikat (AS) terhadap fasilitas nuklir utama Iran yaitu Fordow, Natanz, dan Isfahan memicu lonjakan ketegangan di Timur Tengah serta membawa dunia pada jurang ketidakstabilan global.
Syafruddin menyoroti pernyataan Presiden AS Donald Trump yang menyebut operasi pengeboman ke Iran sebagai “kesuksesan militer spektakuler”, bahkan mengisyaratkan kemungkinan perubahan rezim jika Iran tidak tunduk pada tuntutan perdamaian Washington.
Di saat yang sama, lanjutnya, Iran memperingatkan bahwa semua opsi ada di meja, termasuk menutup Selat Hormuz yang menjadi jalur vital, yang mengangkut hampir seperlima minyak dunia.
“Risiko geopolitik ini bukan sekadar ancaman regional, tetapi juga bahaya sistemik terhadap ekonomi global,” kata Syafruddin dalam keterangannya dikutip Senin (23/6/2025).
Menurut Syafruddin, penutupan Selat Hormuz oleh Iran bukan isapan jempol. Sebab, Iran memiliki kemampuan teknis dan historis untuk melumpuhkan jalur tersebut dengan ranjau laut, serangan drone, atau penyitaan kapal tanker, seperti yang terjadi dalam beberapa dekade terakhir.
Ia berpendapat, ketika jalur ini terganggu maka harga minyak bisa melonjak drastis hingga menyentuh USD 130 per barel sehingga memicu inflasi global dan mempersempit ruang fiskal negara-negara berkembang, termasuk Indonesia.
“Kita berisiko menghadapi depresiasi rupiah, tekanan terhadap cadangan devisa, serta meningkatnya subsidi energi dan harga pangan,” katanya.
Syafruddin menekankan, dalam situasi kritis ini, Indonesia tidak boleh hanya menjadi penonton. Sebagai anggota aktif Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) dan pemimpin kelompok negara berkembang D-8, Indonesia memiliki legitimasi moral dan mandat politik untuk mendorong dialog damai antarnegara Muslim dan mencegah eskalasi destruktif lebih lanjut.
“Indonesia harus mengambil inisiatif untuk mendorong pertemuan luar biasa OKI dan forum D-8 guna menegaskan posisi dunia Islam terhadap kedaulatan Iran dan mengecam penggunaan kekuatan militer oleh negara adidaya terhadap negara Muslim yang berdaulat,” tuturnya.
Syafruddin menegaskan, dunia Islam tidak boleh membiarkan perpecahan internal menjadi celah yang dimanfaatkan kekuatan eksternal.
“Solidaritas terhadap Iran tidak berarti menyetujui semua kebijakan Teheran, tetapi merupakan bentuk keberpihakan terhadap prinsip keadilan, kedaulatan, dan perdamaian. Negara-negara anggota GCC, seperti Arab Saudi dan UEA, juga harus berhenti bersikap ambigu dan mulai menunjukkan empati terhadap sesama bangsa Muslim yang menjadi target serangan militer sepihak,” ucapnya.
Syafruddin menambahkan, Indonesia memiliki sejarah panjang dalam diplomasi damai. Maka, inilah saat yang tepat untuk mengaktifkan kembali peran tersebut dengan menawarkan mediasi, mendorong gencatan senjata, dan mengembalikan semua pihak ke meja perundingan.
“Dunia sedang menyaksikan apakah Indonesia mampu menjadi jangkar moral dalam krisis ini. Diam bukanlah netralitas, melainkan kegagalan dalam menjalankan amanah global,” kata Prof. Syafruddin.