Ekonom Universitas Andalas Usul Kaji Ulang Negosiasi Prabowo terhadap Tarif 32% Rezim Trump
Pemerintah perlu merancang negosiasi dengan struktur yang adil, saling menguntungkan, dan berkelanjutan.

Sakawarta, Jakarta – Ekonom dari Departemen Ekonomi Universitas Andalas Syafruddin Karimi menyoroti cara pemerintahan Prabowo Subianto dalam bernegosiasi dengan Amerika Serikat (AS) terkait “perang dagang” kenaikan tarif impor barang RI ke AS rezim Presiden Donald Trump sebesar 32%.
Menurut Syafruddin, dalam negosiasi internasional, prinsip dasar yang berlaku adalah resiprositas dan posisi tawar.
“Namun, yang terjadi saat ini justru Indonesia tampak memberikan konsesi sepihak lebih dulu sebelum mendapatkan jaminan timbal balik dari pihak AS,” kata dia melalui keterangan resmi dikutip di Jakarta, Kamis (10/4/2025).
Menurut dia, logika tawar-menawar menjadi kabur ketika negara berkembang seperti Indonesia harus terlebih dahulu menurunkan tarif, membuka pasar, dan membeli produk AS demi menghindari hukuman ekonomi.
Ia berpendapat, langkah pemerintah Prabowo Subianto dalam memberikan sejumlah konsesi perdagangan kepada Amerika Serikat menjelang negosiasi bilateral patut dikaji ulang secara kritis.
Dalam sebuah pernyataan resmi, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengumumkan penurunan tarif impor atas sejumlah produk asal AS, mulai dari baja, alat kesehatan, hingga elektronik.
Tak hanya itu, Indonesia juga menjanjikan pembelian produk strategis seperti LPG, LNG, dan kedelai, serta menyatakan fleksibilitas terhadap aturan kandungan lokal yang selama ini menjadi pijakan perlindungan industri dalam negeri.
Syafruddin Karimi menekankan, dalam era geopolitik ekonomi yang makin tidak menentu, kekuatan sebuah negara tidak hanya ditentukan oleh produk domestik bruto (PDB), tetapi juga oleh kemampuannya dalam mengelola tekanan global dengan kepala dingin dan strategi jangka panjang.
“Indonesia tidak boleh terlalu cepat memberikan konsesi demi keuntungan sesaat. Pemerintah perlu merancang negosiasi dengan struktur yang adil, saling menguntungkan, dan berkelanjutan,” kata Syafruddin Karimi.
Ia menambahkan, di sisi lain ada perbedaan respons kebijakan antara Bank Sentral Filipina (BSP) dan Bank Indonesia (BI), yang mencerminkan diferensiasi keberanian dalam membaca ruang kebijakan moneter yang tersedia.
“Di tengah inflasi yang rendah dan tekanan global yang meningkat, BSP memilih untuk bertindak proaktif dengan memangkas suku bunga demi menjaga daya dorong ekonomi domestik,” katanya.
Sementara itu, BI masih menahan diri, lebih fokus pada stabilisasi Rupiah melalui intervensi pasar, meskipun inflasi Indonesia justru lebih rendah dari Filipina dan telah berada di bawah target selama tiga bulan berturut-turut.
Manurut dia, sikap konservatif BI ini dapat dimaklumi dalam konteks risiko pelemahan nilai tukar. Namun, tanpa pelonggaran moneter yang tepat waktu, potensi pemulihan ekonomi dipredikasi bisa tertahan.
“Dalam situasi global yang serba tidak pasti, kebijakan yang berani dan terukur justru menjadi kunci menjaga momentum pertumbuhan tanpa mengorbankan stabilitas,” kata Syafruddin Karimi.