Ekonomi

Mengapa Prospek Bank Syariah di Belakang Bayang-bayang Bank Konvensional

Bank syariah yang menggerus legitimasi pragmatisnya sendiri.

Sakawarta, Jakarta – Ekonom dari Departemen Akuntansi Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Brawijaya Noval Adib memprediksi, prospek bank syariah dalam waktu dekat ini masih akan di belakang bayang-bayang bank konvensional, yang secara market share menguasai lebih dari 90% perbankan nasional.

Sebab, menurut dia, secara konseptual bank syariah sudah selesai.

“Semua pihak sudah bisa menerima workability dari bank syariah sehingga secara praktik bank syariah sudah bisa diterapkan secara bersamaan atau beriringan dengan bank konvensional,” kata Noval Adib dalam keterangannya dikutip Senin (5/5/2025).

Ia berpendapat, permasalahannya ada pada size, di mana bank konvensional sudah terlalu kuat secara skala ekonomis.

“Perbedaannya sangat jomplang, di mana bank syariah secara total hanya menguasai kurang dari 10% pangsa pasar perbankan nasional,” tuturnya.

Menurut dia, kecilnya pangsa pasar perbankan syariah itu mengindikasikan bahwa bank syariah masih belum sepenuhnya legitimate di kalangan stakeholders, meskipun mayoritas masyarakat Indonesia adalah masyarakat muslim.

Lebih spesifiknya, kata dia, kalau dilihat dari perspektif teori legitimasi, bank syariah di Indonesia masih perlu memperkuat aspek legitimasi pragmatisnya.

Kata dia, Suchman (1995) pernah membagi legitimasi organisasi menjadi tiga, yaitu legitimasi kognitif, legitimasi normatif, dan legitimasi pragmatis.

Legitimasi kognitif diperoleh ketika praktek dari sebuah organisasi bisa diterima oleh akal sehat.

“Dalam konteks bank syariah, legitimasi kognitif telah diperoleh karena konsep dan praktik bank syariah sudah bisa diterima secara nalar, bahkan oleh kaum non muslim sekalipun. Itulah mengapa banyak investor non muslim yang juga tertarik untuk invest di bank syariah,” ujarnya.

Kedua adalah legitimasi normatif, di mana legitimasi diperoleh jika secara normatif tidak ada masalah. Dalam hal ini bank syariah akan terus memperoleh legitimasi normatif jika praktiknya tidak menyimpang dari syariah Islam.

“Hal ini tentunya tidak sulit dilakukan oleh bank syariah, mengingat bank syariah itu sendiri didirikan memang untuk menerapkan syariah Islam di bidang muamalat, khususnya perbankan. Apalagi di setiap bank syariah ada dewan pengawas syariah yang akan selalu memonitor shariah compliance dari praktek bisnis bank syariah,” ucapnya.

Ketiga adalah legitimasi pragmatis, di mana legitimasi akan diperoleh jika sebuah organisasi mampu memenuhi tuntutan pragmatis dari stakeholdersnya. Contohnya, kata dia, investor secara pragmatis tentu ingin pembagian keuntungan atau dividen yang setinggi-tingginya dari investasi yang ditanam.

“Sehingga semakin tinggi dividen yang dibagikan ke investor, maka semakin tinggi pula legitimasi pragmatis yang diterima oleh perusahaan. Nah, pada aspek legitimasi pragmatis inilah bank syariah kedodoran dibanding bank konvensional,” ujarnya.

Ia menuturkan, market share yang kecil tidak sampai 10%, akan membuat bank syariah juga lebih terbatas dalam mencetak keuntungan. Dengan demikian, dividen yang dibagikan ke investor juga lebih kecil dibanding dengan bank konvensional.

Sementara, stakeholders bank syariah yang lain juga lebih enggan memberikan legitimasi pragmatis kepada bank syariah, karena kemampuan bank syariah untuk memberi gift atau insentif ke stakeholders yang lain tersebut juga terbatas.

Baca Juga  Dua Fitur Utama Asuransi Kendaraan yang Mesti Diketahui

“Ada satu contoh menarik, mengapa untuk penyimpanan dana operasional, pembayaran gaji, tukin atau serdos universitas rata-rata lebih menggunakan bank konvensional dibanding bank syariah? Kalau menurut analisis saya, ini karena bank-bank konvensional tersebut, rata-rata bank besar yang asetnya sudah mencapai ratusan triliun atau bahkan quadriliun itu, mau memberi gift atau hadiah yang menarik kepada para universitas yang jadi mitra bank-bank konvensional tersebut,” katanya.

Misalnya, lanjut dia, ada satu universitas yang diberi hibah beberapa mobil innova baru untuk operasional, atau menyisihkan dana CSR-nya untuk membangun satu lantai gedung di sebuah universitas.

“Nah hadiah-hadiah tersebut tentu memperkuat legitimasi pragmatis bank konvensional yang menampung dana anggaran universitas tersebut. Ini yang saya maksud bank syariah masih kesulitan untuk bersaing head to head dengan bank konvensional yang size nya jauh lebih besar,” ucapnya menjelaskan.

“Saya sangat meragukan bank syariah yang ada sekarang mampu memberi gift yang sama atau setara seperti yang dilakukan oleh bank konvensional,” ujar dia lagi.

Ia menekankan, yang terjadi baru-baru ini justru ada bank syariah yang menggerus legitimasi pragmatisnya sendiri. Dalam kasus Muhammadiyah, yang menarik dananya sebesar Rp13 triliun dari sebuah bank syariah, karena Muhammadiyah tidak diberikan jatah komisaris di bank syariah tersebut.

“Malah yang dikasih komisaris (konon) orang-orang yang tidak jelas kontribusinya terhadap bank syariah tersebut. Apa yang dilakukan oleh Muhammadiyah tersebut tentu bisa dibenarkan secara pragmatis, karena Muhammadiyah tak dapat imbalan apa-apa, lalu untuk apa menaruh uang yang super besar ke bank syariah tersebut?” ujarnya.

Dalam kasus ini, menurut dia, sudah tentu legitimasi pragmatis bank syariah tersebut jadi berkurang. Maka, langkah ke depan bank syariah untuk lebih mengembangkan skala bisnis atau market share-nya tentu masih sangat berat, mengingat pesaing-pesaing yang dihadapinya banyak yang berukuran gajah dengan pengalaman puluhan tahun lebih dulu dibanding bank syariah.

“Namun, satu demi satu langkah kecil di jalur yang benar tetap perlu dilakukan oleh bank syariah untuk mempertahankan dan memperkuat eksistensinya. Legitimasi di mata stakeholders-nya sudah tentu perlu ditingkatkan, karena bagaimana pun persoalan legitimasi sangat terkait erat dengan eksistensi. Khususnya dalam aspek legitimasi pragmatis yang bank syariah masih sangat kurang,” katanya.

Ia berpendapat, bank syariah masih dianggap kurang memuaskan dalam hal memberi insentif atau reward kepada para stakeholdersnya, yang nantinya sebagai imbalan para stakeholdersnya akan memberi legitimasi pragmatis kepada bank syariah.

Sebab, ini memang terkait dengan kemampuan finansial bank syariah yang memang jauh lebih terbatas dibanding bank konvensional. Untuk itu bank syariah perlu memperluas portofolio bisnisnya, di samping fungsi utamanya sebagai lembaga intermediasi.

Di sisi bersamaan, fungsi lain bank sebagai payment spot misalnya masih perlu ditingkatkan.

“Pengalaman saya ketika mau melakukan pembayaran online seperti beli tiket pesawat atau kereta api atau langganan majalah misalnya, seingat saya tidak pernah muncul nama bank syariah sebagai alternatif tempat pembayaran. Yang muncul bank itu lagi bank itu lagi. Dan masih ada beberapa peluang bisnis lain yang perlu diperdalam oleh bank syariah seperti pembayaran haji atau asuransi,” katanya.

Related Articles

Back to top button