Vietnam Dapat Tarif 20% dari Presiden AS Donald Trump, Indonesia Bagaimana?
*Opini: Syafruddin Karimi, Guru Besar Departemen Ekonomi Universitas Andalas.

Sakawarta.com, Jakarta – Peta perdagangan global kembali terguncang. Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump, baru saja menyegel kesepakatan bilateral dengan Vietnam yang menetapkan tarif tetap sebesar 20% atas seluruh barang ekspor Vietnam ke AS, serta membuka pasar Vietnam sepenuhnya untuk produk-produk AS.
Kesepakatan ini merupakan hasil negosiasi cepat dan kalkulatif dari Hanoi setelah menghadapi ancaman tarif 46% (India Times, 2025). Vietnam memilih menyerahkan sebagian kontrol pasarnya untuk mengamankan kepastian dan stabilitas ekspor. Hasilnya, Trump memuji kesepakatan itu sebagai “luar biasa.”
Di tengah pergeseran arsitektur perdagangan yang semakin transaksional, Indonesia justru terguncang oleh tarif 32% yang diberlakukan AS sejak April 2025, tingkat tarif tertinggi kedua di Asia Tenggara (Antara, 2025).
AS menuding Indonesia menerapkan kebijakan pembatasan impor yang menghambat akses pasar, serta mempertanyakan surplus dagang Indonesia.
Sebagai respons, pemerintah Indonesia melonggarkan ketentuan impor atas sepuluh kelompok komoditas strategis, termasuk bahan baku industri, pupuk, dan sepeda (The Diplomat, 2025). Namun, langkah ini masih bersifat sepihak dan belum dibarengi dengan pendekatan negosiasi diplomatik dua arah.
Perbandingan ini seringkali menggoda kita untuk mengusulkan: “Mengapa Indonesia tidak meniru Vietnam?” Namun, realitasnya, Indonesia tidak bisa sekadar meniru Vietnam, dan juga tidak bisa mengambil posisi keras seperti Tiongkok.
Indonesia bukan ekonomi kecil yang bisa dengan mudah menyerahkan akses pasarnya tanpa risiko politik domestik, dan bukan pula kekuatan besar seperti Tiongkok yang dapat menantang sistem global dengan posisi tawar tinggi.
Maka dari itu, Indonesia perlu merumuskan jalannya sendiri, sebuah strategi dagang nasional yang adaptif, selektif, dan berdaulat.
Strategi yang tepat bagi Indonesia adalah strategi konsesi selektif (selective concession strategy). Artinya, Indonesia dapat membuka ruang negosiasi untuk memberikan akses pada sektor-sektor yang tidak tergolong sensitif, seperti logistik, jasa digital, atau produk keuangan, sambil tetap mempertahankan perlindungan pada sektor-sektor strategis seperti pangan, pertanian, dan industri kecil-menengah.
Langkah ini akan menunjukkan bahwa Indonesia bersedia menjadi mitra dagang yang terbuka dan konstruktif, tanpa mengorbankan fondasi ketahanan ekonominya.
Langkah taktis ini memerlukan tim negosiator profesional lintas kementerian yang memahami bukan hanya detail teknis perdagangan, tetapi juga lanskap politik global.
Pemerintah harus berani menyampaikan pesan bahwa Indonesia siap berdialog secara sejajar, bukan menunggu tekanan, dan bukan pula berlindung di balik status negara berkembang tanpa kesiapan reformasi.
Tarif 32% yang kini dikenakan terhadap produk Indonesia adalah sinyal keras bahwa pendekatan normatif dan reaktif tidak lagi memadai. Dunia perdagangan internasional telah bergeser dari multilateralisme berbasis norma menuju realitas bilateral berbasis daya tawar. Dalam situasi ini, diam bukan netralitas, melainkan kerugian.
Pemerintah harus segera menyusun peta jalan diplomasi dagang baru, bukan meniru Vietnam yang menyerahkan penuh akses pasar, dan bukan pula mengklaim status seperti Tiongkok yang sulit dipertahankan.
Indonesia harus hadir sebagai kekuatan menengah yang rasional: melindungi yang perlu dilindungi, membuka yang siap dibuka, dan menegosiasikan semuanya secara aktif.
Keberhasilan Vietnam bukanlah peta jalan mutlak, tetapi menjadi alarm keras bahwa ketidakpastian bisa dikendalikan jika ditanggapi dengan keberanian, kelincahan, dan strategi.
Indonesia bisa mengambil pelajaran dari sini—bukan untuk meniru, tetapi untuk membangun pendekatan sendiri yang berbasis realitas domestik dan komitmen terhadap perdagangan yang adil dan berdaulat.