Guru Besar Unand: Ekonomi Carut Marut, Dunia di Fase Kritis Kapitalisme Sarat Ketimpangan
Ekonomi yang carut-marut adalah panggilan untuk menata ulang sistem dari akar.

Sakawarta.com, Jakarta – Guru Besar Departemen Ekonomi Universitas Andalas (Unand) Syafruddin Karimi mengatakan saat ini perekonomian global sedang berada dalam pusaran ketidakpastian struktural yang mengguncang banyak negara, termasuk Indonesia.
Menurut dia, ketika Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani menyatakan bahwa kekacauan dunia telah berdampak nyata terhadap perekonomian nasional, pengakuan tersebut harus dibaca lebih dalam, yakni dunia tengah berada dalam fase kritis kapitalisme lanjut yang sarat kontradiksi dan ketimpangan.
”Pertumbuhan yang melambat, investasi yang stagnan, dan tekanan fiskal yang membesar adalah gejala sistemik dari ketidakseimbangan global yang terakumulasi selama dekade terakhir,” kata Syafruddin dalam keterangannya dikutip Rabu (2/7/2025).
Syafruddin mengutip pernyataan yang dikemukakan oleh Ernest Mandel (1975) mengenai kapitalisme bukanlah sistem ekonomi yang berkembang secara linear dan stabil, melainkan melalui siklus ledakan dan krisis yang tak terelakkan.
Ia menyimpulkan, ketika Indonesia hanya mencatat pertumbuhan ekonomi 4,87% dan investasi melemah menjadi 2,12% pada kuartal I 2025, itu bukan sekadar akibat perang atau proteksionisme global.
”Melainkan akibat dari sistem yang mengalami kejenuhan dalam akumulasi modal,” ujarnya.
Syafruddin juga mengutip pernyataan David Harvey (2010) yang menjelaskan bahwa kapitalisme memerlukan ekspansi konstan untuk menghindari stagnasi.
”Ketika ekspansi tersebut terhambat oleh ketegangan geopolitik, fragmentasi pasar, atau penurunan konsumsi global, maka sistem akan menciptakan krisis baru untuk memulihkan dirinya,” ujarnya.
Sementara dalam buku Rebel Cities, Harvey (2012) menekankan bahwa kota, ruang, dan kebijakan publik sering dikendalikan untuk menyerap surplus modal.
”Kita melihat bagaimana negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, menawarkan insentif dan kemudahan investasi kepada modal asing, meskipun konsekuensinya adalah eksploitasi sumber daya alam, tenaga kerja murah, dan ketimpangan spasial yang semakin lebar,” kata Syafruddin.
Syafruddin menekankan, negara pun tidak netral dalam proses ini. Buktinya, dalam penelitian Harvey (2005) menunjukkan bahwa negara modern telah menjadi penyedia infrastruktur bagi keberlanjutan akumulasi modal, bukan lagi sebagai pelindung kesejahteraan publik.
”Kebijakan fiskal yang menekankan disiplin anggaran sering kali mengorbankan belanja sosial demi menjaga persepsi pasar dan lembaga pemeringkat internasional,” ucapnya.
Menurut Syafruddin, kondisi carut-marut ini tidak akan terselesaikan dengan kebijakan kosmetik. Dibutuhkan keberanian politik untuk menata ulang orientasi ekonomi nasional.
Seperti yang dikemukakan Mandel (1975) menegaskan bahwa kapitalisme akhir ditandai oleh dominasi modal finansial dan korporasi multinasional, yang tidak memiliki loyalitas teritorial.
”Dalam konteks ini, negara seperti Indonesia perlu mengurangi ketergantungan pada investasi spekulatif dan mengembangkan basis produksi dalam negeri yang lebih egaliter dan berkelanjutan,” kata Syafruddin.
Menurut dia, investasi dalam sektor rakyat seperti pertanian, koperasi, dan energi terbarukan harus menjadi prioritas.
”Pemerintah juga perlu memperluas ruang demokrasi ekonomi, memungkinkan masyarakat terlibat dalam proses perencanaan dan pengambilan keputusan ekonomi, bukan hanya menjadi objek pembangunan,” ucapnya.
Syafruddin menerangkan, ekonomi yang carut-marut adalah panggilan untuk menata ulang sistem dari akar. Sebab, masyarakat tidak boleh sekadar menunggu solusi dari atas.
Kata Syafruddin, dalam The Enigma of Capital, Harvey (2010) mengingatkan bahwa krisis bukan hanya tentang modal dan angka, tetapi tentang relasi kekuasaan.
Maka itu, lanjutnya, untuk mengatasi krisis secara bermakna, kita harus mempertanyakan siapa yang diuntungkan dari setiap kebijakan ekonomi, dan siapa yang menanggung bebannya.
”Kesadaran ini harus menjadi dasar dari gerakan kolektif yang memperjuangkan transformasi struktural. Bukan sekadar untuk keluar dari resesi, melainkan untuk menciptakan tatanan ekonomi yang berpihak kepada kehidupan, bukan akumulasi tanpa batas,” kata Syafruddin.