Ekonom: Koperasi Desa Merah Putih dan Program 3 Juta Rumah Berpotensi Bawa RI ke Jurang
Bagi Indonesia yang rentan, ini berpotensi menimbulkan tsunami pengangguran, kemiskinan, dan gejolak sosial.

Sakawarta, Jakarta – Ekonom dari Universitas Paramadina Wijayanto Samirin mengkritisi Koperasi Desa Merah Putih yang diinisiasi oleh pemerintahan Presiden RI Prabowo Subianto dan disinyalir akan membutuhkan suntikan dana Rp400 triliun.
Dua program Prabowo lainnya yang tak luput dari kritik tajam Wijayanto Samirin, yakni Program Tiga Juta Rumah dan Program Makan Bergizi Gratis (MBG).
“Mewujudkan Koperasi Desa Merah Putih secara masif tanpa perhitungan matang adalah kesalahan fatal. Dikombinasikan dengan Program MBG dan 3 Juta Rumah, tiga bersaudara ini berpotensi berpotensi membawa Indonesia ke jurang perlambatan ekonomi yang dalam dan panjang,” kata Wijayanto dalam keterangannya dikutip Selasa (29/4/2025).
Menurut dia, sudah saatnya pemerintah rezim Prabowo melakukan kalibrasi ulang program-program unggulannya, bukan untuk ditunda atau dibatalkan.
“Tetapi untuk dioptimalkan agar sesuai dengan kemampuan dan kebutuhan,” ucapnya.
Wijayanto pun mempertanyakan keputusan Prabowo yang menandatangani Inpres menyoal pembangunan masif 80.000 koperasi di seluruh Indonesia. Sebab, ini semua tali temali dengan anggaran jumbo dan faktor Indonesia yang sarat dengan budaya korupsi.
“Bagaimana jika dana jumbo Rp400 triliun justru dikorupsi dan dibawa lari? Bukankah Indonesia negeri yang marak budaya korupsi? Mengapa tidak 1.000 dulu sebagai pilot project, lalu dimultiplikasi setelah menemukan prototipe yang tepat,” ucapnya.
Selain itu, Wijayanto juga sangsi terhadap Program 3 Juta Rumah per tahun yang digenjot oleh Menteri Perumahan dan Kawasan Permukiman (PKP) Maruarar Sirait.
“Mengapa harus 3 juta rumah setahun jika kapasitas fiskal tidak memadai dan demand rumah tidak sebanyak itu? Jangan sampai program ini menggiring Indonesia menuju ‘Subprime Mortgage Crises’ versi Indonesia,” ujarnya.
Ia lantas menyinggung target program Makan Bergizi Gratis atau MBG yang populis itu.
“Mengapa harus 83 juta penerima MBG di November 2025. Padahal April ini saja baru 3 juta siswa terlayani? Mengapa tidak belajar dari Brazil yang perlu 11 tahun untuk mewujudkan program makan gratis bagi 22 juta anak-anaknya?” ucap dia.
Oleh sebab itu, kata Wijayanto, ini saat yang tepat bagi rezim Prabowo untuk mendengar masukan yang kritis dari para pengamat yang juga berjiwa Merah-Putih. Ia meminta pemerintah tidak tutup mata dan telinga untuk segera mengkaji kebijakan.
Di sisi bersamaan, IMF merevisi pertumbuhan ekonomi RI hanya menjadi 4,67% pada tahun 2025, jauh dari target semula Prabowo yakni mencapai 8%.
“Ada potensi kita lampaui itu, tetapi ada potensi besar kita tumbuh jauh di bawah itu. 4,67% memang lumayan, relatif terhadap negara lain, tetapi bagi Indonesia yang rentan, ini berpotensi menimbulkan tsunami pengangguran, kemiskinan, dan gejolak sosial,” tutur dia.
Ia menambahkan, amunisi APBN 2025 dinilainya terbatas, di mana penerimaan semakin sulit didapat, dan berutang pun semakin berat.
“Sudah selayaknya dimanfaatkan untuk hal-hal urgent yang berdampak pada pertumbuhan ekonomi, penciptaan lapangan kerja, dan peningkatan daya beli,” kata Wijayanto Samirin.