Ekonom: Opportunity Cost Ekonomi Nasional Melonjak Akibat Kekacauan Aksi Massa
Dalam situasi kekacauan, aktor intelektual di balik mobilisasi dapat memetik keuntungan politik dan ekonomi.

Sakawarta, Jakarta – Guru Besar Departemen Ekonomi Universitas Andalas (Unand) Prof. Dr. Syafruddin Karimi mengatakan aksi massa selalu membawa opportunity cost bagi ekonomi.
Ia berpendapat, dalam skenario aman, biaya utama muncul dari jam kerja yang hilang, gangguan logistik, dan penundaan transaksi harian.
Meski begitu, aksi damai dapat menciptakan nilai jangka panjang seperti pemerintah terdorong lebih akuntabel, kebijakan jadi lebih responsif, dan premi risiko negara turun karena pasar melihat penyaluran aspirasi berjalan tertib.
Menurut dia, efek ini memperbaiki iklim investasi, menjaga arus modal, dan menstabilkan permintaan domestik.
”Dengan kata lain, biaya jangka pendek terbayar oleh perbaikan tata kelola yang menurunkan biaya modal dan meningkatkan kepastian berusaha,” kata Syafruddin dalam keterangannya dikutip Selasa (2/9/2025).
Syafruddin menekankan, namun gambaran berubah total ketika aksi berujung rusuh, penjarahan, dan perusakan fasilitas publik.
Ia menilai hal ini menimbulkan opportunity cost melonjak karena aktivitas ekonomi berhenti, pusat perdagangan tutup, logistik terganggu, dan rantai pasok retak.
Dengan demikian perusakan infrastruktur publik memaksa pemerintah mengalihkan anggaran ke rehabilitasi, sedangkan dunia usaha menanggung biaya penggantian aset, premi asuransi lebih tinggi, dan kehilangan pendapatan.
”Pasar keuangan merespons dengan volatilitas, biaya pendanaan naik, dan manajer risiko menunda keputusan investasi. Efek lanjutan menyasar konsumsi rumah tangga lewat psikologi ketakutan serta kenaikan harga barang pokok akibat hambatan distribusi,” ucapnya.
Syafruddin menekankan, kenaikan anggaran keamanan menambah beban fiskal.
Sebab, ada faktor overtime aparat, Bahan Bakar Minyak (BBM), logistik, perlengkapan pengendalian massa, serta penebalan operasi lapangan ini menekan belanja prioritas seperti pendidikan, kesehatan, dan perlindungan sosial.
Ia berpendapat, realokasi ini mengurangi multiplier fiskal yang seharusnya menopang pertumbuhan.
”Jika kerusuhan berulang, pemerintah terjebak dalam siklus biaya keamanan yang tinggi, defisit melebar, dan ruang kebijakan menyempit. Investor membaca sinyal ini sebagai penurunan kualitas kebijakan sehingga meminta imbal hasil lebih tinggi atau menunda penempatan dana,” tuturnya.
Syafruddin menegaskan dalam situasi kekacauan, aktor intelektual di balik mobilisasi dapat memetik keuntungan politik dan ekonomi.
Menurut dia, pengendali narasi memperoleh daya tawar untuk menekan konsesi kebijakan, pialang politik menukar dukungan dengan akses rente, spekulan memanfaatkan volatilitas harga aset dan mata uang. Sementara pelaku pasar gelap meraup laba dari penimbunan komoditas langka.
”Keuntungan privat itu lahir dari biaya sosial yang ditanggung publik seperti hilangnya rasa aman, rusaknya fasilitas umum, dan turunnya kepercayaan pada institusi. Situasi ini mereduksi modal sosial, meningkatkan polarisasi, serta memperlemah legitimasi kebijakan makro yang dibutuhkan untuk menjaga stabilitas,” ujarnya.
Seharusnya, kata dia, kebijakan yang bijak meminimalkan opportunity cost dan menutup ruang rente.
Maka, lanjutnya, pemerintah perlu mengamankan hak berkumpul damai dengan tata kelola pengamanan yang profesional seperti membuka investigasi independen pada insiden kekerasan, menjaga komunikasi terpadu Bank Indonesia (BI)–Kementerian Keuangan (Kemenkeu) agar pasar memperoleh kepastian arah, lalu memperkuat jaring pengaman sosial di titik rawan, serta memulihkan fasilitas publik secara cepat dan transparan.
”Pendekatan itu memotong insentif bagi aktor intelektual yang ingin memonetisasi kekacauan, menurunkan premi risiko, dan mengembalikan fokus ekonomi pada produktivitas, investasi, serta pertumbuhan berkelanjutan,” kata dia.