Ekonomi

Ekonom Ungkap Berbagai Dampak Buruk Perang Israel-Iran terhadap Ekonomi Dalam Negeri

Perang yang dimulai dari Tel Aviv dan Teheran bisa berdampak hingga pasar minyak, nilai tukar, hingga kantong rakyat Indonesia.

Sakawarta.com, Jakarta – Guru Besar Departemen Ekonomi Universitas Andalas (Unand) Prof. Dr. Syafruddin Karimi mengungkap berbagai dampak buruk yang bisa terjadi akibat perang antara Israel dan Iran terhadap ekonomi dalam negeri.

“Perang terbuka antara Israel dan Iran yang kini melibatkan langsung Amerika Serikat (AS) harus menjadi alarm serius bagi Indonesia,” kata Syafruddin dalam keterangan resmi pada Minggu (22/6/2025).

Menurut dia, saat Presiden AS Donald Trump mengonfirmasi serangan udara terhadap situs nuklir Iran, termasuk penghancuran fasilitas Fordow, maka eskalasi konflik langsung berubah drastis dari serangan regional menjadi pertarungan terbuka antara kekuatan global.

“Indonesia tidak boleh menonton dalam diam. Ketika AS mengerahkan B-2 bomber untuk menghancurkan infrastruktur nuklir Iran, dampaknya tak hanya mengguncang Timur Tengah, tetapi juga menggoyang fondasi ekonomi dan geopolitik negara-negara berkembang, termasuk Indonesia,” tuturnya.

Syafruddin mendorong, maka itu pemerintah Indonesia di rezim Prabowo Subianto harus segera bertindak, bukan sekadar membuat pernyataan normatif.

Pertama, kata dia, Presiden Prabowo dan jajaran ekonomi harus mempersiapkan langkah darurat menghadapi lonjakan harga minyak dunia.

Sebab, ketergantungan Indonesia pada impor energi akan menjadi beban fiskal besar jika harga minyak menembus $100 per barel, serta menunda revisi kebijakan subsidi energi hanya akan memperparah defisit APBN.

Baca Juga  Presiden Jokowi Resmi Larang Penjualan Rokok Eceran

“Kedua, Bank Indonesia dan Kementerian Keuangan harus memperkuat koordinasi stabilisasi Rupiah. Potensi capital outflow akibat gejolak global bisa menekan nilai tukar dan mengerek inflasi. Intervensi moneter harus disertai penajaman komunikasi kebijakan agar pasar tetap tenang,” ujarnya.

Lebih dari itu, kata Syafruddin, Indonesia harus segera menghidupkan jalur diplomasi Selatan-Selatan, terutama melalui G7 dan OKI.

Ia berpendapat, ketidakhadiran suara kolektif Global South dalam krisis ini kian memperparah dominasi narasi geopolitik oleh blok G7 yang nyaris tanpa kritik terhadap agresi Israel.

“Indonesia, dengan rekam jejaknya sebagai pemimpin negara berkembang dan pendukung kemerdekaan Palestina, harus memimpin inisiatif diplomatik untuk mengakhiri kekerasan dan menuntut penghormatan terhadap hukum internasional,” ucapnya.

Syafruddin menekankan, saat dunia terbelah antara mereka yang memproduksi kekacauan dan mereka yang terkena dampaknya, maka Indonesia harus berpihak pada stabilitas dan keadilan global.

“Tindakan lamban hanya akan memperbesar kerentanan kita sendiri. Perang yang dimulai dari Tel Aviv dan Teheran bisa berdampak hingga pasar minyak, nilai tukar, hingga kantong rakyat Indonesia. Maka, ketegasan diplomatik dan kesiapan ekonomi bukan pilihan, tapi keniscayaan,” kata Prof Syafruddin Karimi.

Related Articles

Back to top button