Ekonom: Perjanjian Perdagangan AS-Indonesia Bukan Timbal Balik, Justru Tunjukkan Ketimpangan
Komitmen Indonesia untuk mereformasi regulasi buruh dan lingkungan pun tidak diimbangi oleh kewajiban serupa dari pihak AS.

Sakawarta.com, Jakarta – Ekonom dari Universitas Andalas (Unand) Prof. Dr. Syafruddin Karimi mengatakan perjanjian perdagangan resiprokal Amerika Serikat (AS)–Indonesia 2025 yang diklaim berbasis prinsip timbal balik, justru menunjukkan ketimpangan mendasar dalam distribusi hak dan kewajiban antara kedua negara.
Ia mencatat perihal Indonesia diwajibkan menghapus 99% tarif atas produk AS, menghilangkan berbagai pengaman regulatif seperti kandungan lokal dan lisensi impor, serta membuka akses pasar digital dan data lintas batas tanpa imbal balik setara. Sementara AS hanya menurunkan tarif hingga 19% dan tetap mempertahankan ruang proteksi domestiknya.
Menurut dia, komitmen Indonesia untuk mereformasi regulasi buruh dan lingkungan pun tidak diimbangi oleh kewajiban serupa dari pihak AS, menjadikannya sebagai instrumen disipliner, bukan sebagai bentuk tanggung jawab bersama.
“Dalam konteks ini, tidak ada mekanisme koreksi struktural yang dapat menyeimbangkan beban liberalisasi dengan perlindungan kepentingan nasional, baik untuk sektor UMKM, petani, maupun industri strategis domestic,” kata Syafruddin dalam keterangan resmi dikutip Sabtu (26/7/2025).
Di sisi lain, lanjut dia, transaksi komersial bernilai miliaran dolar seperti pembelian pesawat, energi, dan hasil pertanian dari AS menempatkan Indonesia sebagai konsumen, bukan mitra sejajar dalam rantai nilai global.
Oleh karena itu, tutur dia, meskipun dikemas dalam narasi resiprositas, perjanjian ini secara substantif mencerminkan dominasi ekonomi pusat atas pinggiran.
“Jika tidak dikaji ulang secara kritis, hanya akan memperdalam ketergantungan struktural Indonesia dalam sistem perdagangan global yang timpang,” kata Syafruddin Karimi.