Krisis Ekologis di Depan Mata, Saatnya Indonesia Beralih ke Ekonomi Restoratif
CELIOS mendefinisikan ekonomi restoratif sebagai model ekonomi yang bertujuan memulihkan ekosistem terdegradasi untuk mendapatkan kembali fungsi ekologis.
Sakawarta, Jakarta – Indonesia sejak awal merdeka telah berupaya membangun perekonomian dengan berbagai sistem, mulai dari imaji ekonomi warisan undang-undang dasar yang sangat sosialis sampai ke upaya membuka keran besar bagi modal asing. Namun, belum ada sistem ekonomi yang berhasil mewujudkan pemerataan dan kemakmuran.
Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudistira mengatakan sudah saatnya Indonesia menemukan kekuatannya sendiri, tanpa mengikuti model ekonomi mainstream.
Model ekonomi Indonesia yang terbukti berhasil tahan terhadap krisis, seperti krisis moneter 1998 dan pandemi COVID-19, adalah ekonomi yang tumbuh dari masyarakat lokal dan usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM).
Bhima menuturkan, inilah wujud ekonomi yang tak hanya memeratakan kesejahteraan, tapi juga memulihkan alam karena terhindar dari upaya-upaya ekstraksi besar-besaran seperti penambangan dan perkebunan monokultur yang masif.
Sistem ekonomi restoratif, kata Bhima, memberikan keseimbangan antara pembangunan ekonomi dan lingkungan. Dalam studinya, CELIOS mendefinisikan ekonomi restoratif sebagai model ekonomi yang bertujuan memulihkan ekosistem terdegradasi untuk mendapatkan kembali fungsi ekologis dan menyediakan barang serta jasa yang bernilai bagi masyarakat.
“Kalau pemerintah tidak akui ini model ekonomi yang Indonesia banget dan proven, inilah kerugian kita,” kata Bhima dalam diskusi bertajuk Ekonomi Era Krisis Iklim dan soft launching buku “Saatnya Ekonomi Restoratif,” dikutip di Jakarta, Sabtu (19/10/2024).
Memperbaiki model ekonomi yang tidak merata
Manajer Kampanye Hutan dan Kebun WALHI Ully Artha Siagian menyoroti pentingnya menjaga keseimbangan antara manusia, ekonomi dan lingkungan.
Untuk membangun ekonomi restoratif dan ekonomi nusantara yang berkelanjutan, Ully menekankan perlunya mengkritisi model ekonomi ekstraktif dan kapitalistik yang berlaku saat ini.
Berdasarkan riset WALHI tahun 2019-2020, ekonomi masyarakat tetap kuat ketika lingkungannya terjaga, termasuk di kawasan gambut, dataran tinggi, dan pesisir.
Sementara, Koordinator Sekretariat Lingkar Temu Kabupaten Lestari Ristika Putri Istanti menyoroti upaya transformasi di tingkat kabupaten yang telah dimulai sejak 2017, dengan beberapa daerah secara sukarela bergerak menuju ekonomi yang lebih berkelanjutan.
Menurut dia, kebakaran hutan masif pada 2019 dan banjir besar di Kalimantan pada 2021 menjadi pendorong bagi asosiasi untuk mendorong transformasi kebijakan di tingkat kabupaten. Namun, tantangan besar tetap ada, mengingat luas dan beragamnya kondisi di Indonesia.
Ristika menyerukan ekstraksi sumber daya dan perkebunan monokultur harus ditahan. Maka itu menurutnya Indonesia perlu mendorong pengelolaan yang bertanggung jawab dan pengembangan komoditas yang beragam.
Ristika menambahkan, ekonomi restoratif tidak hanya tentang memulihkan hutan, tetapi juga tentang memperbaiki model ekonomi yang tidak merata. Ia juga menyarankan agar negara memiliki ambang batas yang jelas terkait kapan harus membuka, memperluas, atau menghentikan kegiatan ekonomi.
Diskusi ini merupakan kolaborasi antara CELIOS, platform LaporIklim, radio jaringan KBR, sejumlah penulis independen dan beberapa lembaga pendukung, yakni Econusa, Lingkar Temu Kabupaten Lestari, Koalisi Ekonomi Membumi, Traction Energi Asia, Iklimku.org dan Yayasan Bambu Lestari.