LPS Terbebas Dari Perkara Tuntutan Rp6,648 Triliun
Pengadilan Mauritius telah mengabulkan tuntutan agar LPS dan mantan pimpinannya dikeluarkan dari perkara.
Sakawarta, Jakarta – Supreme Court of Mauritius atau Pengadilan Mauritius mengabulkan tuntutan agar Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) dan mantan pimpinan LPS yaitu Kartiko Wirjoatmojo dan Fauzi Ichsan dikeluarkan dari perkara, sehingga LPS terbebas dari perkara tuntutan senilai Rp6,648 triliun.
“Setelah melalui proses persidangan yang cukup panjang, akhirnya dalam persidangan tanggal 19 Juni 2024 yang lalu, Pengadilan Mauritius telah mengabulkan tuntutan agar LPS dan mantan pimpinannya dikeluarkan dari perkara,” kata Ketua Dewan Komisioner LPS Purbaya Yudhi Sadewa dalam konferensi pers di Jakarta, dikutip Kamis (1/8/2024).
Pada 2017 LPS dan mantan pimpinannya digugat di Pengadilan Mauritius oleh para penggugat, antara lain oleh First Global Funds Limited PCC (FGFL), Weston International Asset Recovery Company Limited (WIARCO), Weston Capital Advisor, Inc (WCAI), Weston International Asset Recovery Corporation Inc (WIARCI) dan Weston Capital Advisor, Inc (WICL).
Adapun substansi gugatan adalah terkait dengan Mandatory Convertible Bond (MCB) yang dimiliki oleh salah satu penggugat yang dahulu diterbitkan oleh Bank Century (sekarang Bank Jtrust Indonesia), di mana para penggugat mendalilkan bahwa berdasarkan MCB tersebut, para penggugat haruslah menjadi pemenang dari lelang saham LPS pada bank Mutiara ketika diselamatkan oleh LPS beberapa tahun lalu.
Secara keseluruhan, para penggugat mengajukan tuntutan sebesar 408 juta dolar AS atau kurang lebih setara dengan Rp6,648 triliun. Para penggugat juga mengajukan permohonan Mareva Injunction atau permohonan sita atas segala aset milik para tergugat senilai 400 juta dolar AS.
Sejak awal LPS telah langsung mengajukan upaya dan langkah hukum pembelaan, antara lain pengajuan Surat keberatan yang memuat antara lain mengenai penetapan pengadilan yang telah mengizinkan untuk memanggil para pihak yang berada di luar Mauritius.
“Karena pengadilan di Mauritius sejatinya tidak berwenang untuk memeriksa perkara, serta pemanggilan para pihak di Indonesia tidak dilakukan secara patut dan sah karena tidak mengindahkan prinsip kedaulatan hukum Indonesia,” ujar Purbaya.
Selain itu, LPS juga telah mengajukan bantahan lain berupa kesaksian tersumpah (affidavit) antara lain melalui Direktur Eksekutif Hukum LPS Ary Zulfikar dan Direktur Jenderal Administrasi Hukum Umum Kemenkumham RI Cahyo Rahadian Muhzar.
Mereka berdua menyatakan bahwa berdasarkan doktrin State Immunity, LPS patut dikeluarkan dari perkara karena kedudukan dan tindakan-tindakan yang dilakukannya khususnya terkait dengan penanganan resolusi bank yang telah dilakukan adalah tindakan yang berlandaskan mandat undang-undang dan dilakukan secara profesional.
“Dan, dengan telah dikeluarkannya LPS dan mantan pimpinannya dari Main Case di Supreme Court of Mauritius, maka LPS dan mantan pimpinannya telah dibebaskan dari tuduhan-tuduhan para penggugat yang dianggap tidak berdasarkan fakta-fakta hukum yang ada,” tutur Ary dikutip dari Antara.
Dalam proses penanganan perkara itu, LPS juga didukung penuh oleh pihak pemerintah, dalam hal ini Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum (AHU), khususnya Direktorat Otoritas Pusat dan Hubungan Internasional, Kementerian Hukum dan HAM Republik Indonesia (Kemenkumham RI), di mana Tim LPS dan Kemenkumham RI melakukan kunjungan dan koordinasi secara langsung kepada Pemerintah Mauritius, guna menjelaskan sekaligus meminta dukungan mengenai kepentingan hukum LPS dalam perkara itu yang juga merupakan kepentingan hukum Pemerintah Indonesia