Perbedaan Krisis Perang Dagang 2025 dengan Pandemi Covid-19 dan Krisis 1998
Bisa melemahkan perdagangan global, merusak rantai pasok, menurunkan daya saing negara berkembang.

Sakawarta, Jakarta – Ekonom dari Departemen Ekonomi Universitas Andalas, Syafruddin Karimi mengkritisi pernyataan sebagian ekonom yang menilai tekanan ekonomi akibat kebijakan tarif impor era Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump Trump tidak lebih parah dari krisis pandemi COVID-19.
“Atau bahwa situasi saat ini jauh dari skala krisis 1998, mencerminkan kegagalan membaca spektrum risiko jangka panjang dan dinamika geopolitik global yang berubah drastis,” kata Prof. Syafruddin dalam keterangan resmi dikutip Sabtu (19/4/2025).
Prof. Syafruddin berpendapat, krisis pandemi memang menghantam sisi permintaan secara simultan dan melumpuhkan aktivitas ekonomi secara tiba-tiba.
Namun, kata dia, berbeda dengan krisis akibat tarif Trump yang menyusup secara perlahan dan sistemik.
Hal ini, menurut dia, bisa melemahkan perdagangan global, merusak rantai pasok, menurunkan daya saing negara berkembang, dan menciptakan struktur tekanan permanen lewat ketidakpastian kebijakan dagang.
“Bahkan lebih jauh, tarif digunakan bukan sekadar sebagai instrumen ekonomi, tetapi sebagai senjata geopolitik untuk memaksa negara lain tunduk pada kepentingan satu kekuatan,” ucapnya.
Dalam konteks ini, kata Syafruddin, dampak krisis perang dagang dari AS lebih berbahaya, karena menyasar jantung kedaulatan ekonomi negara-negara yang menjadi sasaran.
Jadi, lanjutnya, dibandingkan dengan krisis 1998 yang dipicu runtuhnya sistem moneter dan arus modal, situasi perang dagang yang diciptakan Donald Trump hari ini justru memperlihatkan pergeseran dari krisis finansial ke krisis kepercayaan terhadap tatanan ekonomi global.
Ia menengarai, jika ekonom masih melihat tekanan tarif hari ini sebatas gangguan teknis biasa, tanpa melihat dimensi kekuasaan dan tekanan struktural yang menyertainya, maka mereka disebut sedang melihat badai dengan kaca mata kabut.
“Sudah saatnya analisis ekonomi tidak berhenti pada angka-angka makro semata, tetapi membaca arah kekuatan global dan posisi tawar bangsa-bangsa. Karena krisis ekonomi bukan hanya tentang keruntuhan nilai tukar atau pertumbuhan negatif, tetapi juga tentang kehilangan kendali atas nasib sendiri dalam sistem ekonomi dunia yang semakin tak adil,” kata Syafruddin Karimi.