BisnisEkonomi

Perlukah Kementerian BUMN Dilebur ke Danantara

*Opini: Achmad Nur Hidayat, Ekonom dan Pakar Kebijakan Publik UPN Veteran Jakarta

Sakawarta, Jakarta – Apakah peleburan Kementerian BUMN ke Danantara langkah yang tepat? Pertanyaan itu mendesak dijawab karena menyentuh dua hal yang kerap bercampur: fungsi negara sebagai pemilik perusahaan dan fungsi negara sebagai pembuat kebijakan.

Jika keduanya tidak dipisahkan dengan jelas, BUMN akan terus hidup dalam tarik-menarik yang melelahkan: mengejar laba di satu sisi, menjalankan mandat pelayanan publik di sisi lain, sambil tetap tunduk pada siklus politik.

Maka, rumusan masalahnya begini: bisakah peleburan ini membuat garis kepemilikan lebih tegas, keputusan bisnis lebih cepat, dan pada saat yang sama memperkuat akuntabilitas publik?

Gagasan ini sederhana namun sulit: peleburan hanya layak jika ia benar-benar mengganti “taring” politik dengan “taring tata kelola”—governance yang kuat, transparan, dan bisa diuji publik.

Dari “Kementerian Operator” ke “Manajer Portofolio”

Bayangkan sebuah rumah sakit. Direktorat kesehatan daerah menyusun standar pelayanan, tarif, dan pengawasan; tetapi operasional sehari-hari rumah sakit dikelola oleh manajemen profesional dengan dewan pengawas independen.

Kementerian adalah regulator; manajemen adalah operator.

Ketika Kementerian BUMN sekaligus menjadi regulator informal dan wajah pemilik, garisnya kabur.

Peleburan ke Danantara pada dasarnya mengajukan analogi baru: bukan lagi “kementerian operator”, melainkan manajer portofolio—mirip Temasek atau Khazanah—yang ditugasi menjaga nilai aset, mengoptimalkan alokasi modal, dan memutihkan keputusan komersial dari kebisingan politik.

Analogi ini mempermudah isu kompleks: kalau operator dituntut lincah, maka sang pemilik harus jelas siapa, apa targetnya, dan bagaimana mengukur keberhasilannya.

Momentum dan Konteks

Per pertengahan September 2025 ini, peleburan masih tahap kajian. Itu kabar baik: ada ruang merancang, bukan sekadar mengganti papan nama.

Di saat yang sama, kita juga telah memiliki Indonesia Investment Authority (INA) dan kini Danantara sebagai dana pengelola aset.

Pertanyaan krusialnya bukan “boleh atau tidak”, melainkan apakah mandatnya tumpang tindih dan siapa pemegang ownership function yang sah mewakili negara dalam RUPS.

Tanpa skema yang tegas, pasar akan membaca ini sebagai duplikasi, bukan konsolidasi.

Padahal panggung ekonomi sedang menuntut BUMN lebih gesit: transisi energi, digitalisasi layanan publik, logistik, pangan—semuanya butuh keputusan yang cepat, disiplin modal, dan kemitraan global yang kredibel.

Apakah Langkah Ini Bagus?

Jawaban jujur: bisa bagus—dengan syarat.

Bagus jika peleburan ini mengakhiri kerancuan antara peran pemilik dan peran regulator; mempercepat keputusan korporasi; dan menegakkan disiplin kinerja—return on equity, internal rate of return, cash conversion, hingga economic value added.

Bagus jika budaya “penempatan orang” bergeser menjadi budaya “penempatan modal”: siapa pun yang duduk, tolok ukurnya adalah nilai tambah bersih, bukan kedekatan politik.

Bagus jika Danantara didesain sebagai super-holding yang lean, dengan dewan independen yang kuat, komite investasi berintegritas, dan pelaporan konsolidasi yang patuh PSAK/IFRS—lengkap dengan look-through leverage agar risiko tidak bersembunyi di anak perusahaan.

Namun itu semua bisa buruk bila peleburan hanya memindahkan kewenangan tanpa memperbaiki checks and balances.

Buruk jika mandat Danantara tidak ditulis ulang dan diselaraskan dengan INA; jika kewenangan regulator sektoral (ESDM, Perhubungan, Kominfo, dll.) tidak dipertegas; jika cooling-off politik diabaikan; jika transaksi related party tidak diterangi sorot lampu yang terang.

Buruk jika kebijakan dividen tidak jelas: negara bisa kehilangan setoran jangka pendek sementara nilai jangka panjang pun belum terwujud.

Singkatnya: struktur tanpa tata kelola adalah undangan bagi risiko.

Mampukah Ini Mendongkrak Kinerja BUMN?

Potensi peningkatan kinerja nyata. Manajer portofolio yang profesional punya tiga alat utama.

Pertama, portfolio discipline: menguatkan national champions, melepas unit yang tak lagi strategis, melakukan spin-off bisnis yang terjebak di konglomerasi, dan berani menutup yang tidak efisien.

Kedua, capital discipline: proyek besar lolos karena risk-adjusted return memadai, bukan karena proyek besar “harus jalan”; capex gate dirancang berlapis, dan post-investment review benar-benar menghukum keputusan buruk.

Ketiga, akses modal dan mitra: sovereign wealth structure lazimnya lebih mudah crowd-in investor global karena tata kelola dan deal certainty lebih bisa diprediksi.

Di sinilah Danantara, jika benar berfungsi sebagai super-holding, dapat menjadi mesin perbaikan ROE sambil menutup valuation gap antara BUMN kita dan peers regional.

Tapi mari jujur: tidak semua BUMN akan menjadi juara komersial.

Peran PSO BUMN Harus Menjadi Perhatian Utama, Bukan Sekedar Cari Profit

Baca Juga  Gibran Terbang ke Inggris Jajaki Peluang Investasi

Ada yang memang memikul Public Service Obligation (PSO).

Kunci kebijakan adalah memisahkan KPI BUMN komersial (yang mengejar nilai) dari BUMN PSO (yang mengejar layanan).

PSO harus dihitung, dikontrak, dan dikompensasi tepat waktu—agar neraca tidak keruh dan manajemen tidak dipaksa berbohong pada angka.

Tanpa pemisahan ini, peleburan hanya memindahkan kebingungan, bukan menyelesaikannya.

Keuntungan dan Kerugian Negara

Dari sisi negara, manfaat potensialnya ada pada kenaikan nilai aset dan kestabilan dividen jangka menengah.

Dengan tata kelola baik, portofolio yang lebih ramping akan menghasilkan arus kas yang lebih sehat; manajemen yang disiplin akan menekan proyek “gagah-gagahan” yang mahal.

Negara juga diuntungkan oleh efisiensi kelembagaan: fungsi pembinaan yang bersifat administratif bisa dipangkas, sementara fungsi kebijakan diserahkan kepada kementerian teknis yang relevan.

Risikonya? Pertama, arus dividen jangka pendek bisa terganggu bila Danantara memilih menahan laba untuk ekspansi. Kita butuh kebijakan payout yang eksplisit—misalnya target payout ratio yang dikaitkan dengan siklus investasi.

Kedua, risiko fiskal terselubung dari leverage di level holding. Tanpa batas yang jelas dan stress test yang diumumkan, utang portofolio mudah sekali menjadi beban implisit negara.

Ketiga, duplikasi mandat dengan INA berpotensi menciptakan coordination failure: dua lembaga mencari mitra untuk proyek serupa, mengirim sinyal berlawanan, dan pada akhirnya melemahkan bargaining power Indonesia di meja negosiasi internasional.

“Kehilangan Taring” atau Reposisi Taring?

Kekhawatiran bahwa Kementerian BUMN akan “kehilangan taring” sebenarnya menyoroti inti persoalan: taring apa yang kita maksud?

Jika yang dimaksud adalah taring sebagai “penentu terakhir” pengangkatan komisaris, direksi, dan keputusan akuisisi—benar, taring itu akan dan harus berpindah ke pemilik baru, yakni super-holding yang bertanggung jawab atas nilai.

Tetapi taring negara tidak boleh hilang; ia harus berubah bentuk menjadi taring tata kelola: fit and proper yang tegas, insider list dan cooling-off untuk menjaga integritas, related-party rules yang transparan, dan kewajiban publikasi KPI yang mudah diaudit BPK dan disigi DPR.

Regulasi sektor tetap di kementerian teknis—itulah “gigitan” kebijakan publik yang justru menjadi lebih tajam ketika tidak bercampur dengan kepentingan sebagai pemilik.

Menata Ulang Arsitektur Hukum

Satu pelajaran besar dari banyak negara adalah landasan hukum mendahului restrukturisasi.

UU BUMN saat ini menempatkan “menteri” sebagai wakil pemegang saham negara.

Jika fungsi itu dipindahkan ke Danantara, peralihan harus eksplisit: siapa mewakili negara di RUPS, bagaimana mekanisme pengangkatan dan pemberhentian, bagaimana garis akuntabilitas ke presiden dan DPR, bagaimana batas leverage, bagaimana kebijakan dividen, dan bagaimana konsolidasi pelaporan keuangan sesuai PSAK/IFRS.

Tanpa itu, kita membuka celah sengketa, mengundang kebingungan pasar, dan—lebih parah—melemahkan posisi negara sendiri ketika terjadi peristiwa luar biasa.

Apa yang Timely dan Mesti Diputuskan Sekarang

Pertama, mandat tunggal antara Danantara dan INA. Apakah Danantara memegang saham BUMN dan menjadi portfolio owner, sementara INA difokuskan sebagai kendaraan co-investment proyek?

Atau sebaliknya? Jawabannya harus ringkas, tertulis, dan disosialisasikan ke pasar.

Kedua, klasifikasi BUMN: komersial, hibrida, dan PSO murni, dengan KPI yang berbeda dan mekanisme kompensasi yang pasti.

Ketiga, kebijakan dividen yang kredibel—negara butuh kepastian, dan investor butuh visibility atas arus kas.

Keempat, transparansi portofolio: publik membutuhkan NAV, peta risiko, dan stress test fiskal agar percaya bahwa peleburan bukan menyembunyikan risiko, tetapi menatanya.

Menukar Taring Politik dengan Taring Tata Kelola

Sebagai ekonom dan pakar kebijakan publik UPN Veteran Jakarta, saya melihat peleburan Kementerian BUMN ke Danantara bukan tujuan, melainkan alat.

Ia bisa menjadi loncatan dari tata kelola yang reaktif menuju tata kelola yang proaktif—asal ditempuh dengan arsitektur hukum yang jelas, pembagian peran yang tegas, dan komitmen transparansi yang tidak bisa ditawar.

Ia bisa mendongkrak kinerja perusahaan BUMN, tetapi tidak otomatis; kuncinya ada pada disiplin portofolio, disiplin modal, dan perlindungan yang nyata terhadap intervensi yang tidak perlu.

Ia bisa menguntungkan negara dalam jangka panjang, tetapi jangka pendek perlu kebijakan dividen yang cermat dan penjagaan risiko leverage yang ketat.

Dan ya, Kementerian BUMN akan “kehilangan taring” dalam pengertian lama; namun negara seharusnya memperoleh taring baru—taring tata kelola yang menggigit, yang membuat manajemen bekerja untuk nilai, yang membuat kebijakan publik berjalan pada jalurnya, dan yang pada akhirnya membuat BUMN bukan sekadar besar, tetapi juga bernilai bagi rakyat.

Related Articles

Back to top button