Ekonomi

Rencana Pemerintah Prabowo Andalkan Himbara Danai Koperasi Desa Merah Putih Tuai Sorotan

Porsi yang bisa digunakan untuk program-program desa lainnya akan secara signifikan terpotong.

Sakawarta, Jakarta – Direktur Riset Bright Institute Muhammad Andri Perdana menyoroti langkah Pemerintah Prabowo Subianto yang akan mengandalkan pinjaman dari bank-bank yang tergabung dalam Himpunan Bank Negara (Himbara) untuk mendanai Koperasi Desa Merah Putih.

Sebelumnya, Wakil Menteri Desa dan Pembangunan Daerah Tertinggal (Wamendes PDT) Ahmad Riza Patria mengatakan pemerintah menargetkan dapat membentuk 80 ribu koperasi desa dengan perkiraan dana yang dibutuhkan untuk membentuk dan menjalankan satu Koperasi Desa Merah Putih adalah mencapai Rp2-3 miliar.

Menurut Andri, soal keterlibatan Himbara dalam pendanaan Koperasi Desa menunjukkan pemerintah tidak lagi berutang melalui Surat Berharga Negara (SBN), tapi langsung ke bank komersial.

“Jadi yang bisa saya tangkap perkembangannya, terutama dari pernyataan Wamendes PDT, modal usaha dari Koperasi Merah Putih ini akan rencananya akan didapat dari utang pemerintah pemerintah pusat ke bank Himbara, dan pembayaran cicilan dari utang ini diambil dari pos belanja Dana Desa APBN,” kata Andri dalam keterangannya dikutip Kamis (24/4/2025).

Ia berpendapat, jadi utang atas nama pemerintah pusat dan liabilitasnya, semestinya berada dalam neraca pemerintah pusat.

“Namun, bisa juga utang ini akan menjadi atas nama pemerintah desa. Namun, kas dan pos belanja dari Dana Desa sudah ‘dikunci’ untuk membayar cicilan modal Koperasi Merah Putih sebelum bisa digunakan untuk program desa lain,” ujarnya.

Sehingga, kata Andri, diprediksi desa akan diminta menyediakan pembangunan dan operasional koperasi tersebut. Sementara, koperasi ini akan mendapatkan modal awal yang cukup banyak sebagai modal usaha, yang mana modal ini didapat dari utang ke bank Himbara dengan tenor 10 tahun, 15 tahun, atau lebih.

Menurut dia, selama 15 tahun ke depan, Dana Desa yang semestinya diterima pemerintah desa akan lebih dahulu diwajibkan untuk membayar cicilan ke bank Himbara sehingga porsi yang bisa digunakan untuk program-program desa lainnya akan secara signifikan terpotong.

“Praktis, jika disimpulkan secara sederhana, cicilan atas utang hingga Rp400 triliun kepada bank untuk Koperasi Merah Putih ini didapat dari anggaran Dana Desa hingga 10 hingga 15 tahun ke depan, dan bahkan bisa lebih,” ujarnya.

Baca Juga  BI Catat Pertumbuhan Ekonomi Jakarta Anjlok Masih di Bawah Nasional

Secara praktis pula, lanjut dia, sebenarnya pemerintah telah mendanai program ini dengan berutang ke bank komersial alih-alih dari SBN. Dari sudut pandang fiskal, ia melihat, sebenarnya ini bisa jauh lebih bahaya karena artinya bunga utangnya semestinya jauh di atas bunga SBN.

“Pemerintah pusat memang sudah berada pada situasi yang sulit untuk menerbitkan utang baru melalui SBN. Penerbitan utang baru tahun ini saja jika sesuai APBN 2025, yakni sebesar Rp774,87 triliun, sebenarnya sudah merupakan penarikan utang tertinggi dalam sejarah republik ini di luar tahun pandemi,” katanya.

Kata Andri, jika pemerintah sampai menerbitkan SBN lagi untuk memenuhi instruksi presiden yang memerlukan tambahan anggaran hingga ratusan triliun tersebut, maka pemerintah semestinya akan memerlukan APBN Perubahan (APBN-P).

“Yang mana seharusnya tidak bisa disahkan secara Undang-Undang karena pasti akan melewati batas defisit 3%, dan penerbitan SBN lebih jauh akan semakin mencederai struktur utang pemerintah secara jangka panjang dan yield SBN secara keseluruhan,” ujarnya.

Menurut Andri, jadi dari sisi penganggaran, program ini sebenarnya bukan suatu terobosan luar biasa dari Presiden Prabowo Subianto sebagaimana yang dikatakan Mendagri Tito Karnavian.

“Tidak ada dana anggaran yang gratis, apalagi jika sampai perlu Rp400 triliun. Justru ketika pemerintah perlu berutang kepada bank komersial untuk mendanai suatu program, mau itu bank Himbara sekalipun, maka beban bunga utang yang perlu dibayar akan lebih berat daripada bunga SBN,” ucapnya.

Ia menambahkan, justru karena bank Himbara yang diminta untuk mendanai program ini, maka dirinya bisa membaca bahwa bahkan andai pemerintah menekan bank Himbara untuk memberikan cicilan dengan bunga yang mendekati bunga serendah-rendahnya mendekati bunga SBN sekalipun, maka ini sebenarnya telah menjadi preseden bahwa kepentingan operasional bank Himbara akan semakin menjauh dari profitabilitas.

“Karena dipaksa memberikan bunga pinjaman yang jauh di bawah standar operasionalnya,” katanya.

“Belum lagi andai desa gagal mengelola koperasi baru ini, baik karena kegagalan operasional bisnis maupun karena potensi korupsi atas modal awal yang besar, maka kapasitas desa akan tercederai secara jangka panjang karena anggaran dana desa tersebut akan tetap dipakai untuk membayar cicilan ke bank Himbara selama 10 hingga 15 tahun ke depan, dan bahkan bisa lebih lama,” ujar Andri memungkasi.

Related Articles

Back to top button