Ekonomi

Tax Amnesty di Prolegnas 2025: Untuk Siapa RUU Ini Dibuat?

*Opini: Achmad Nur Hidayat, Ekonom dan Pakar Kebijakan Publik UPN Veteran Jakarta

Sakawarta, Jakarta – Mengapa RUU ini dimasukkan? Mengapa DPR kembali menempatkan Rancangan Undang-undang Pengampunan Pajak ke dalam Prolegnas prioritas 2025, padahal pengalaman lalu menunjukkan efeknya tidak selalu positif bagi kepatuhan jangka panjang?

Pertanyaan ini bukan sekadar teknis legislasi; ia menyentuh soal keadilan fiskal, legitimasi negara, dan arah pilihan politik yang akan berdampak pada pelaku ekonomi dari berbagai lapisan.

Siapa yang dirugikan?

Inti persoalan adalah distribusi beban dan sinyal yang diberikan kebijakan kepada publik.

Pengampunan pajak berpotensi memberi peluang terbesar bagi pemilik modal besar untuk “membersihkan” kepatuhan mereka dengan membayar denda atau tarif khusus, sementara pelaku usaha menengah dan kecil yang selama ini taat administrasi tidak pernah memperoleh fasilitas serupa.

Ketika yang taat merasa tidak mendapat imbalan atas kepatuhan mereka, muncul ketidakadilan prosedural yang mengikis rasa keadilan—fondasi penting bagi ketaatan pajak sukarela.

Analoginya sederhana: bayangkan sekolah memberi pengampunan kepada siswa yang ketahuan mencontek; cukup membayar denda kecil dan nilai diperbaiki.

Siswa yang belajar jujur tentu merasa dirugikan. Lebih berbahaya, kebijakan seperti itu memberi insentif bagi perilaku menunda ketaatan karena harapan adanya amnesti di masa depan.

Dalam skala makro, moral hazard ini membuat kepatuhan sukarela melemah—efek yang jauh lebih mahal dibandingkan suntikan penerimaan sekali pakai.

Pengalaman amnesti sebelumnya menunjukkan bahwa deklarasi besar dan pemasukan tebusan sesaat tidak otomatis berujung pada perbaikan kepatuhan jangka panjang.

Efeknya sering bersifat temporer dan selektif: modal yang mampu mengakses skema administrasi, konsultan, dan struktur hukum kompleks cenderung mendapatkan manfaat lebih besar.

Sementara itu, basis ekonomi yang lebih luas—usaha mikro, kecil, pekerja berpendapatan menengah—tetap menanggung beban kepatuhan tanpa kompensasi.

Kenapa ini problematik sekarang

Pertama, pengulangan wacana amnesti memberi sinyal inkonsistensi kebijakan; bila amnesti menjadi opsi periodik, kepatuhan sukarela akan menurun.

Baca Juga  Praktik Serakahnomics dan Penguatan KPPU

Kedua, desain teknis RUU cenderung menentukan siapa yang menang: mekanisme pelaporan yang kompleks dan akses ke penasihat mahal memfavoritkan pemain besar.

Ketiga, dampak legitimasi: publik yang merasakan ketimpangan akan kehilangan kepercayaan pada institusi fiskal dan legislatif, yang akhirnya menurunkan efektivitas kebijakan fiskal lain yang sejatinya dirancang untuk kepentingan umum.

Jalan yang lebih adil dan berkelanjutan

Jika tujuan pemerintah adalah menambah penerimaan dan menata basis data harta, ada opsi yang lebih berkelanjutan daripada amnesti.

Pertama, modernisasi administrasi perpajakan melalui digitalisasi dan integrasi data antar-instansi—langkah ini menutup celah dan menurunkan biaya kepatuhan.

Kedua, perkuat kapasitas audit dan penegakan hukum untuk mengejar penggelapan dan praktik penghindaran pajak.

Ketiga, rancang insentif proporsional yang memudahkan UMKM masuk ke formal tanpa membebani mereka—misalnya skema threshold yang jelas, pendampingan administratif, dan stimulus transisi formalitas.

Keempat, untuk kebutuhan fiskal jangka pendek, prioritas yang lebih adil adalah mengejar piutang pajak tertunggak dan memperketat pengawasan transaksi lintas batas, bukan menawarkan amnesti yang cenderung menguntungkan segelintir pihak.

Pilih keadilan, bukan jalan pintas

Memasukkan RUU Tax Amnesty ke Prolegnas 2025 adalah pilihan politik yang membawa konsekuensi legitimasi jangka panjang.

Jika legislatif ingin mempertahankan kepercayaan publik dan menumbuhkan kepatuhan yang berkelanjutan, prioritas harus diarahkan pada reformasi administrasi, penegakan hukum, serta kebijakan inklusif bagi pelaku menengah dan kecil.

Kepatuhan pajak tumbuh dari rasa keadilan; tanpa fondasi itu, suntikan kas sementara hanyalah obat yang menutup gejala sementara dan menunda perbaikan struktural.

Sebagai ekonom dan pengamat kebijakan publik, saya menegaskan: tax amnesty yang menguntungkan yang besar dan menekan pelaku menengah serta kecil bukanlah solusi — ia adalah jebakan manis yang harus ditolak demi masa depan fiskal yang lebih adil dan berkelanjutan.

Related Articles

Back to top button