
Sakawarta, Jakarta – Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Provinsi Maluku didukung oleh Yayasan Konservasi Alam Nusantara (YKAN) menggelar Pelatihan Dasar-Dasar Konservasi (MPA 101) di Waipia, Kecamatan Teon, Nila, Serua (TNS), Maluku Tengah pada 19–25 September 2025.
Kegiatan ini melibatkan perwakilan masyarakat dari Kecamatan TNS, yaitu pemerintah negeri, pemilik petuanan laut, tokoh agama, perwakilan perempuan, dan generasi muda dengan total 94 peserta dari 15 negeri.
Direktur Program Kelautan YKAN Muhammad Ilman menjelaskan, pelatihan ini bertujuan meningkatkan pemahaman masyarakat tentang prinsip-prinsip pengelolaan kawasan konservasi perairan berbasis masyarakat.
“Hal ini sejalan dengan rencana perancangan Kawasan Konservasi Perairan di Perairan Kepulauan TNS seluas 685.000 hektare, yang akan menjadi bagian dari jaringan Kawasan Konservasi Perairan di Provinsi Maluku,” kata dia melalui keterangan resmi dikutip Minggu (28/9/2025).
Pada pelatihan ini, peserta dilatih memahami ekosistem pesisir seperti hutan mangrove, padang lamun, dan terumbu karang, yang berfungsi untuk menjaga kualitas air, menyerap karbon, menjadi habitat penting biota laut, hingga melindungi daratan dari ancaman badai dan gelombang besar.
Selain itu, peserta juga diajak menelaah kondisi sumber daya laut di masa lalu dan sekarang, serta mendiskusikan ancaman seperti penangkapan ikan yang tidak ramah lingkungan, praktik tangkap berlebihan, dan dampak perubahan iklim.
Kepala DKP Provinsi Maluku, Erawan Asikin, menegaskan pentingnya pelatihan ini yang merupakan langkah nyata dalam memperkuat pengelolaan kawasan konservasi di Maluku, khususnya di Kepulauan TNS.
“Kawasan ini memiliki potensi perikanan dan keanekaragaman hayati yang sangat besar, tetapi juga rentan terhadap ancaman. Dengan keterlibatan masyarakat, kami berharap sumber daya laut tetap terjaga sekaligus memberikan manfaat ekonomi bagi generasi mendatang,” ujarnya.
Sebagai bagian dari agenda, peserta juga diperkenalkan pada konsep Pengelolaan Perikanan Berbasis Masyarakat (PPBM), termasuk zonasi wilayah tangkap di kawasan konservasi.
Diskusi juga membahas pengelolaan kawasan perairan berbasis kearifan lokal, seperti praktik sasi laut, serta potensi pariwisata bahari yang dapat membuka peluang ekonomi baru tanpa merusak ekosistem.
Selain sesi kelas, pelatihan juga diisi dengan metode partisipatif seperti diskusi kelompok, menggambar peta sumber daya alam pesisir, permainan edukatif, serta praktik untuk memahami keterkaitan antarspesies.
Melalui pendekatan ini, peserta diajak melihat langsung bagaimana hilangnya satu mata rantai ekosistem dapat mengganggu keseimbangan dan mengancam kehidupan masyarakat pesisir.
Camat Teon Nila Serua, Ronald Wonmaly, menyampaikan apresiasinya atas keterlibatan masyarakat.
“Kehidupan masyarakat TNS sangat bergantung pada laut. Karena itu, keterlibatan masyarakat dalam pelatihan ini penting agar mereka tidak sekadar menjadi penerima manfaat, tetapi juga sebagai penjaga utama ekosistem yang menopang hidup mereka. Kami berharap ilmu yang diperoleh dapat langsung dipraktikkan untuk melindungi laut dan menyejahterakan masyarakat,” katanya.
Bagian dari Proses Perencanaan dan Penetapan Kawasan Konservasi Perairan
Latar belakang pelatihan ini berakar pada pentingnya perlindungan kawasan ekoregion Banda, yang oleh para ilmuwan dinilai sebagai daerah prioritas kedua di segitiga karang setelah Bentang Laut Kepala Burung Papua.
Kawasan ini tidak hanya kaya akan terumbu karang, padang lamun, dan hutan mangrove, tetapi juga menjadi habitat penting bagi penyu, mamalia laut, dan berbagai ikan bernilai ekonomi tinggi. Dengan tekanan terhadap ekosistem yang kian meningkat, langkah-langkah penguatan kapasitas masyarakat seperti ini dipandang krusial untuk memastikan keberlanjutan laut Maluku.
Direktur Program Kelautan YKAN, Muhammad Ilman, menekankan posisi strategis wilayah ini dalam konteks global.
“Kawasan perairan Maluku, termasuk di kawasan Kepulauan TNS, merupakan bagian dari segitiga karang dunia dengan keanekaragaman hayati luar biasa. Laut Banda sendiri menyumbang sekitar 10 persen produksi perikanan nasional. Pelatihan ini menjadi bagian dari upaya memastikan keberlanjutan perikanan, sekaligus mendorong partisipasi aktif masyarakat, perempuan, dan generasi muda agar tata kelola laut lebih inklusif, adaptif, dan berkelanjutan,” ujarnya.
Dengan adanya rangkaian pelatihan MPA 101, masyarakat TNS diharapkan tidak hanya memiliki pemahaman baru, tetapi juga komitmen lebih kuat untuk menjaga laut mereka.
“Kesadaran kolektif ini akan menjadi fondasi dalam pengelolaan kawasan konservasi perairan, yang pada akhirnya memberi manfaat tidak hanya bagi masyarakat lokal, tetapi juga bagi keberlanjutan perikanan Indonesia dan kesehatan ekosistem global,” ujarnya.