Ekonomi

Dana Pemerintah Rp200 Triliun di Bank BUMN: Useless atau Turbo?

*Opini: Achmad Nur Hidayat, Ekonom dan Pakar Kebijakan Publik, UPN Veteran Jakarta.

Sakawarta, Jakarta – Apakah penempatan dana pemerintah sebesar Rp200 triliun di bank-bank BUMN benar-benar mampu menghela kredit ke sektor produktif KDMP, perumahan rakyat, hingga Makan Bergizi Gratis (MBG) atau justru membuka ruang moral hazard yang kelak menghantam kesehatan sistem keuangan?

Pertanyaan ini penting karena kebijakan berukuran jumbo kerap menggoda eksekusi serba cepat.

Tekad menyalurkan dana khusus ke kredit sudah tepat, tetapi efektivitasnya bergantung pada bagaimana kita mendesain pagar risiko, mengukur dampak, serta memastikan uang murah tidak tersedot ke zona nyaman kredit konsumtif.

Demand Kredit Melemah Tambahan Suplai Kredit Tidak Berarti Signifikan

Masalahnya bukan sekadar kekurangan dana, melainkan transmisi pembiayaan yang kurang menggigit.

Likuiditas perbankan relatif longgar, rasio pendanaan terhadap kredit masih di kisaran delapan puluhan persen dan kualitas aset terjaga, namun laju pertumbuhan kredit belum sebanding dengan kebutuhan pemulihan ekonomi.

Artinya, mesin ada tetapi pedal gas enggan diinjak.

Dalam kondisi seperti ini, injeksi Rp200 triliun ibarat menambah turbo pada mobil yang sedang ragu-ragu: dorongan ekstra bermanfaat bila jalan di depan jelas dan pengemudinya paham rute; jika tidak, tenaga besar justru meningkatkan risiko selip di tikungan.

Bendungan, Pipa, dan Meteran

Bayangkan bendungan besar berisi air (dana pemerintah). Pipa-pipa (bank BUMN) menyalurkan air ke sawah (sektor produktif).

Jika katupnya longgar dan meterannya lemah, air bisa habis menyiram halaman yang tak perlu, sementara sawah tetap kering.

Karena itu, inti keberhasilan bukan pada volume air semata, melainkan desain katup dan meteran: siapa penerima, untuk apa, berapa lama, dan bagaimana panen yang dihasilkan.

Instruksi “khusus untuk kredit” adalah meteran pertama; kita butuh meteran kedua berupa indikator dampak—misalnya porsi gizi yang tersalurkan, unit rumah sederhana yang diserahterimakan, atau kapasitas cold chain yang betul-betul terpasang.

Risiko Tak Terpisahkan

Risiko pertama adalah distorsi insentif.

Dana murah mendorong bank mencari portofolio paling aman dan cepat, sering kali jatuh ke refinancing debitur besar atau kredit konsumsi, bukan ke UMKM pangan, koperasi desa, atau pengembang rumah sederhana yang memerlukan nurturing.

Risiko kedua adalah konsentrasi sektor. Penumpukan ke properti tanpa manajemen siklus bisa memantik volatilitas harga. Risiko ketiga adalah moral hazard di hulu: “koperasi instan”, penyaluran berbasis kedekatan, atau pengadaan MBG yang tak transparan.

Risiko keempat adalah pendanaan yang volatil. Jika dana pemerintah bersifat on call sementara kreditnya berumur panjang, tercipta mismatch maturitas yang menyandera stabilitas likuiditas bila terjadi penarikan mendadak.

Baca Juga  Reshuffle Kabinet, Presiden Prabowo Ganti Lima Menteri

Sektor yang Ideal Diprioritaskan: Dari Piring Makan ke Atap Rumah

Prioritas pertama adalah ekosistem pangan-gizi namun tidak terbatas hanya untu MBG.

Bukan sekadar bahan baku, melainkan keseluruhan rantai pasok: peternak ayam dan sapi perah, produsen telur, sayur dan susu, pabrik pengolahan, logistik dingin, dapur produksi, hingga pemasok kemasan. Kredit modal kerja dan investasi kecil-menengah di sini langsung menurunkan biaya per porsi dan memperlebar jangkauan gizi anak.

Prioritas kedua adalah perumahan rakyat tipe sederhana dan menengah bawah, yang memobilisasi banyak tenaga kerja dan industri turunan.

Disiplin loan-to-value, verifikasi penghasilan, dan escrow berbasis progres fisik wajib ditegakkan agar tidak memicu spekulasi.

Prioritas ketiga adalah KDMP yang benar-benar produktif: koperasi berbasis komoditas unggulan lokal, RAT berjalan, laporan keuangan dasar, dan—yang terpenting—kontrak offtaker yang memastikan produk terserap. Tanpa pasar, kredit koperasi hanya janji tanpa pembeli.

Pasang Rambu Pengaman Hindari Moral Hazard

Untuk menutup celah moral hazard, alokasi perlu ring-fencing.

Tetapkan porsi minimal untuk ekosistem MBG dan KDMP terverifikasi, sisanya ke perumahan rakyat dan UMKM rantai pasok.

PTerapkan risk sharing yang sehat—penjaminan pemerintah terbatas pada kelas risiko yang punya externalities tinggi—agar bank tetap memegang sebagian risiko dan selektif memilih debitur.

Jaga disiplin tenor dan likuiditas: dana on call diarahkan terutama ke kredit modal kerja bergulir, sementara KPR tenor panjang wajib ditopang sumber pendanaan yang stabil.

Laporan bulanan harus bermakna, bukan seremonial: tampilkan dasbor publik sederhana tentang arah penyaluran dan capaian dampak, tanpa mengumbar data debitur.

Terakhir, tetapkan negative list: dilarang untuk refinancing konsumsi, pembelian lahan spekulatif, dan proyek yang tidak terhubung ke misi pangan-gizi, perumahan rakyat, dan ekonomi desa.

Menyalakan Mesin, Periksa Rem

Penempatan dana pemerintah Rp200 triliun adalah peluang menggeser logika kredit dari “siapa cepat dia dapat” menjadi “siapa paling berdampak dia didukung”.

Keberanian mengucurkan dana harus diiringi ketegasan rambu.

Dengan ring-fencing yang jelas, risk sharing yang adil, negative list yang tegas, transparansi berbasis dampak, dan koordinasi erat antara Kemenkeu–OJK–bank pelaksana, kita menyalakan mesin pertumbuhan tanpa melepas rem pengawasan.

Jika konsistensi dijaga, kebijakan ini tidak hanya menggerakkan angka penyaluran kredit, tetapi menghadirkan manfaat nyata: porsi makan anak sekolah yang lebih bergizi dan terjangkau, atap rumah layak bagi keluarga muda, serta koperasi desa yang hidup dari pasar yang nyata.

Dari piring makan hingga atap rumah, dari kandang sapi perah hingga gudang dingin, Rp200 triliun akan terasa sebagai denyut nadi ekonomi riil—bukan sekadar genangan angka di laporan keuangan.

Related Articles

Back to top button