Ekonom: Membuka Lebar Akses Impor dari AS, Bisa Mengancam Kedaulatan Ekonomi dan Ketahanan
Menghapus kuota tanpa strategi industrialisasi dan perlindungan domestik yang seimbang dapat membuka celah penetrasi produk asing secara masif.

Sakawarta, Jakarta – Ekonom dari Departemen Ekonomi Universitas Andalas, Syafruddin Karimi menyotori langkah Presiden Prabowo Subianto yang membuka keran impor dari Amerika Serikat (AS) setelah Presiden Donald Trump membuat aturan soal pengenaan kenaikan tarif impor ke Negeri Paman Sam.
Sebagaimana diketahui, Pemerintah Presiden Prabowo juga disebut-sebut akan menghapus aturan dan pertek kuota impor yang selama ini dinilai menghambat pengusaha masuk ke Indonesia.
“Kebijakan Presiden Prabowo Subianto yang membuka keran impor dengan menghapus aturan dan pertek kuota impor patut dipertimbangkan secara kritis dalam konteks geopolitik ekonomi global saat ini,” kata Syafruddin dalam keterangan resmi dikutip Sabtu (19/4/2025).
Sebab, kata dia, pada saat Amerika Serikat sebagai kekuatan ekonomi terbesar menggunakan instrumen tarif untuk menekan negara-negara lain secara sepihak, langkah Indonesia yang membuka lebar akses impor justru berisiko memperlemah posisi tawar nasional.
“Menghapus kuota tanpa strategi industrialisasi dan perlindungan domestik yang seimbang dapat membuka celah penetrasi produk asing secara masif, yang pada akhirnya mengancam kedaulatan ekonomi dan ketahanan sektor produksi dalam negeri,” ujarnya.
Syafruddin menuturkan, jika negara besar menggunakan proteksi dan tekanan sebagai senjata, ia mempertanyakan mengapa Indonesia justru membuka diri tanpa jaminan imbal balik yang adil.
Dia berpendapat, dalam situasi global yang dipenuhi ketidakpastian dan dominasi sepihak, Indonesia seharusnya memperkuat pijakan ekonomi nasional, bukan malahan melemahkannya dengan relaksasi yang hanya menguntungkan pihak luar.
“Diplomasi ekonomi perlu dibangun di atas asas resiprositas dan keadilan, bukan kerelaan untuk diserbu pasar asing demi menjaga citra keterbukaan semu,” ucapnya.
Ia berpesan, sudah waktunya dunia bersatu menyatakan dengan tegas bahwa praktik intimidasi ekonomi melalui tarif sepihak yang dilakukan oleh Presiden AS Trump tidak bisa lagi ditoleransi.
Ia berpandangan, ketika seorang pemimpin negara besar dengan arogansi menyebut bahwa banyak negara sedang antre untuk “kissing his ass”, itu bukan sekadar pelecehan diplomatik, tapi penghinaan terhadap martabat komunitas internasional.
“Dunia tidak boleh terus berada dalam posisi defensif, apalagi berlomba-lomba menawarkan konsesi demi menghindari sanksi ekonomi,” tuturnya.
Syafruddin menambahkan, jika semua negara tunduk pada tekanan, maka tatanan global akan berubah menjadi panggung ketakutan, bukan arena kerja sama yang adil.
Justru, lanjutnya, inilah momen penting bagi dunia untuk membuktikan bahwa solidaritas antarnegeri, terutama negara berkembang, mampu melampaui dominasi sepihak.
“Dunia harus berdiri bersama dan berkata: cukup sudah. Jika tidak, kita akan selamanya menjadi objek eksploitasi dalam permainan kekuasaan global yang penuh penghinaan. Saatnya komunitas internasional memberikan pelajaran kepada kekuatan besar: bahwa kedaulatan, martabat, dan keadilan tidak bisa dibeli dengan tarif dan intimidasi,” kata Syafruddin.