Ketika Pinjol Menjadi Penggerak Tersembunyi Ekonomi RI: Alarm Daya Beli Kelas Menengah
*Opini: Achmad Nur Hidayat, Ekonom dan Pakar Kebijakan Publik UPN Veteran Jakarta.

Sakawarta, Jakarta – Apakah lonjakan pinjaman daring hingga Rp101,3 triliun pada September 2025 (data OJK) menandakan bahwa masyarakat Indonesia kini bergantung pada utang sebagai tumpuan daya beli?
Pertanyaan ini bukan sekadar retorika. Lonjakan pinjaman online (pinjol) bukan hanya menandakan kemajuan teknologi keuangan, tetapi juga mencerminkan tekanan yang lebih dalam pada ekonomi rumah tangga.
Pinjol telah menjadi “mesin daya beli” bagi banyak masyarakat, dan di balik pertumbuhannya tersimpan cermin rapuhnya fondasi ekonomi nasional.
Bayangkan sebuah generator darurat yang digunakan untuk menyalakan listrik saat pemadaman.
Awalnya, ia membantu rumah tangga bertahan. Namun, jika setiap hari listrik padam dan generator menjadi satu-satunya sumber energi, maka yang tampak bukan lagi efisiensi, melainkan ketergantungan.
Begitulah nasib pinjol di Indonesia: awalnya menjadi solusi bagi keterbatasan akses keuangan, kini berubah menjadi sumber utama daya beli masyarakat.
Outstanding pinjol nasional yang mencapai lebih dari Rp 101 triliun menandakan ekspansi luar biasa.
Pertumbuhannya yang lebih dari 22 persen secara tahunan memperlihatkan bahwa semakin banyak masyarakat menjadikan pinjol sebagai jembatan finansial untuk memenuhi kebutuhan dasar — dari biaya pendidikan, kesehatan, hingga konsumsi harian.
Ironisnya, di saat ekonomi nasional masih tumbuh sekitar 5 persen, kemampuan masyarakat untuk membiayai kebutuhannya sendiri justru melemah. Pinjol menjadi “oksigen sintetis” bagi ekonomi rumah tangga yang sesak napas.
Generasi Muda dan “Normalisasi” Utang Instan
Lebih dari separuh pengguna pinjol kini berasal dari generasi muda berusia 19–34 tahun. Mereka adalah kelompok yang mestinya produktif, tetapi justru semakin akrab dengan kredit cepat.
Akses mudah, proses singkat, dan promosi agresif menjadikan pinjol terasa seperti teman akrab di layar ponsel — padahal di balik kenyamanan itu tersembunyi bunga tinggi, potensi gagal bayar, dan tekanan psikologis yang tidak kecil.
Kredit macet di sektor ini juga terus meningkat, dengan tingkat gagal bayar di atas 2,8 persen pada akhir triwulan III 2025.
Angka itu memang tampak kecil, tetapi di baliknya terdapat jutaan individu yang kesulitan melunasi utangnya.
Fenomena ini mencerminkan ketimpangan antara gaya hidup digital yang serba cepat dengan ketahanan ekonomi riil yang lemah.
Generasi muda bukan tidak produktif, tetapi mereka menghadapi realitas ekonomi di mana pendapatan tumbuh lebih lambat daripada kebutuhan.
Kita menghadapi paradoks: di era digitalisasi keuangan, kemudahan pinjaman justru melahirkan generasi dengan beban finansial yang semakin berat. Inklusi keuangan meningkat, tetapi literasi keuangan tertinggal.
Pinjol Sebagai “Booster” Semu Pertumbuhan
Dari sisi makro, konsumsi rumah tangga masih menjadi pendorong utama pertumbuhan ekonomi.
Namun, ketika konsumsi semakin dibiayai oleh utang jangka pendek seperti pinjol dan paylater, maka pertumbuhan itu kehilangan basis yang sehat.
Ekonomi tampak bergerak, tetapi sebenarnya sebagian besar digerakkan oleh kredit yang menggerus daya beli masa depan.
Kondisi ini seperti mobil yang melaju cepat karena nitro-booster — laju memang meningkat sesaat, tetapi ketika bahan bakar tambahan itu habis, mesin berpotensi macet total.
Begitu pula ekonomi kita: konsumsi hari ini dipacu oleh pinjaman konsumtif, namun cicilan dan denda akan menjadi beban yang menahan konsumsi di masa depan.
Maka tak heran jika kenaikan gagal bayar terjadi bersamaan dengan ekspansi pinjol yang pesat. Ini menandakan pertumbuhan yang tidak berkelanjutan.
Yang lebih mengkhawatirkan, pertumbuhan konsumsi semu ini bisa menciptakan ilusi kesejahteraan.
Masyarakat tampak aktif berbelanja, tetapi sebagian besar pengeluaran didorong oleh utang, bukan oleh peningkatan pendapatan.
Maka “prestasi” ekonomi 2025, jika dilihat dari kaca mata ini, sesungguhnya rapuh — pertumbuhan terjadi di atas fondasi utang jangka pendek, bukan pada peningkatan produktivitas atau daya beli riil.
Efek Sosial dan Psikologis: Tekanan yang Tak Kasatmata
Di luar angka-angka ekonomi, lonjakan pinjol membawa dampak sosial yang lebih halus. Banyak rumah tangga kini hidup dalam tekanan psikologis akibat beban cicilan.
Pinjol, dengan notifikasi harian dan tenggat waktu yang ketat, menciptakan ekosistem stres baru di masyarakat.
Ini adalah bentuk “kemiskinan digital”, di mana teknologi yang seharusnya memudahkan justru mempercepat kejatuhan finansial bagi mereka yang paling rentan.
Daya beli yang dipertahankan dengan utang membuat banyak keluarga hidup dalam lingkaran kekhawatiran permanen: antara menjaga reputasi skor kredit dan memenuhi kebutuhan hidup. Ketika kebutuhan dasar disubsidi oleh utang, maka krisis sosial tinggal menunggu waktu.
Menata Ulang Paradigma Ekonomi Konsumtif
Di titik ini, kita harus berani bertanya: apakah keberhasilan ekonomi masih diukur dari banyaknya konsumsi, atau dari kualitas kesejahteraan yang dihasilkan?
Jika konsumsi hanya bisa tumbuh lewat pinjaman, maka ekonomi tidak sedang tumbuh — ia sedang menunda krisis.
Keberanian untuk menata ulang paradigma ini penting agar kebijakan tidak sekadar mengejar pertumbuhan angka, tetapi membangun ketahanan nyata.
Pemerintah dan regulator perlu menata ulang fungsi pinjol sebagai alat inklusi keuangan yang sehat.
Perlu ada pembatasan rasio utang terhadap pendapatan, transparansi biaya pinjaman, serta sistem penilaian risiko yang lebih adil antar-platform.
Literasi keuangan harus menjadi program prioritas, bukan sekadar jargon, terutama di kalangan muda dan pekerja informal yang paling banyak terjerat pinjaman konsumtif.
Selain itu, kredit perlu diarahkan kembali ke sektor produktif.
Jika pinjol mampu menghubungkan modal dengan UMKM, petani, atau pelaku usaha kecil yang membutuhkan pembiayaan jangka pendek, maka fungsi pinjaman akan berubah dari konsumtif menjadi produktif.
Saat kredit menghasilkan pendapatan, bukan sekadar membiayai konsumsi, ekonomi rumah tangga pun akan lebih kuat dan berdaya tahan.
Jalan Keluar: Dari Ketergantungan Menuju Kemandirian
Solusi jangka pendek memang bukan melarang pinjol, tetapi mengembalikannya pada fungsi yang benar.
Sementara itu, pemerintah harus menurunkan beban hidup masyarakat lewat perbaikan harga pangan, transportasi, dan kesehatan. Ketika biaya hidup turun dan pendapatan meningkat, kebutuhan berutang untuk hal-hal dasar akan berkurang.
Kebijakan fiskal dan sosial seharusnya difokuskan untuk memperkuat pendapatan riil, bukan menambal sementara lewat utang konsumtif.
Dalam jangka panjang, masyarakat harus didorong untuk bertransisi dari “ekonomi instan” menuju “ekonomi berkelanjutan”.
Artinya, budaya menunda konsumsi, menabung, dan mengelola risiko keuangan perlu dihidupkan kembali.
Di tengah gempuran aplikasi keuangan yang menjanjikan kemudahan, kemampuan mengendalikan diri adalah bentuk literasi yang paling mendasar.
Pertumbuhan yang Memprihatinkan
Lonjakan pinjol hingga Rp 101 triliun mungkin tampak sebagai tanda inklusi keuangan yang berhasil, tetapi sesungguhnya ia adalah peringatan.
Ketika mesin ekonomi digerakkan oleh utang berbiaya tinggi, maka yang bergerak bukanlah kesejahteraan, melainkan beban masa depan. Indonesia tidak sedang menuju ekonomi yang kuat; kita sedang berlari di atas roda kredit instan yang bisa berhenti kapan saja.
Kita patut bersyukur bahwa teknologi memudahkan akses keuangan, namun kita juga harus waspada: kemudahan tanpa kedewasaan adalah resep pasti menuju krisis kecil yang berulang.
Tugas pemerintah, regulator, dan masyarakat adalah memastikan agar pinjol tidak menjadi candu baru daya beli, tetapi tetap menjadi alat bantu transisi menuju ekonomi yang produktif dan manusiawi.
Dengan kata lain, pinjol memang telah menjadi mesin penggerak ekonomi 2025 — tetapi mesin ini bukanlah tanda kekuatan, melainkan sinyal peringatan.
Dan tugas kita adalah memastikan agar mesin itu tidak meledak sebelum ekonomi kita benar-benar siap berjalan dengan tenaganya sendiri.







