Teknologi

Nasib Kelas Pekerja di Tengah Gempuran AI

Apakah ingin untuk meningkatkan produktivitas dan mempermudah pekerjaan.

Sakawarta, Jakarta – Direktur Riset Bright Institute Muhammad Andri Perdana menyoroti nasib kelas pekerja di tengah gempuran perkembangan kecerdasan buatan atau AI.

Menurut dia, kalau melihat dari segi potensi, sebetulnya tidak ada pekerjaan yang secara teoritis tidak dapat digantikan oleh potensi AI, maupun teknologi otomatisasi di masa waktu mendatang, termasuk pekerjaan menjadi presiden sekalipun.

“Namun, jika berbicara apakah AI dan teknologi otomatisasi lainnya akan menggantikan kelas pekerja, maka sistem ekonomi kita sendiri sebenarnya tidak memungkinkan hal itu,” kata Andri dalam keterangannya dikutip Minggu (4/5/2025).

Sebab, sistem ekonomi RI membutuhkan masyarakat menjadi kelas pekerja untuk menjaga disparitas dengan kelas pemodal sebagai pemilik teknologi tersebut.

“Serta agar kelas pekerja tetap bisa menjadi konsumen sekaligus pelanggan atas produk-produk ‘milik’ kelas pemodal tersebut,” ucapnya.

Andri menekankan, jika tidak ada pekerja, maka tidak ada konsumen, dan kelas pemilik teknologi tidak bisa menjadi kelas pemodal.

“Kelas pekerja harus tetap ada jika pemilik teknologi ingin tetap bertahan menjadi kelas pemodal,” tutur dia.

Andri berpendapat, manusia sebagai homo faber, di sektor pekerjaan mana pun pasti akan beradaptasi dengan kemajuan teknologi, dan menciptakan pekerjaan-pekerjaan baru seiring pekerjaan lama digantikan oleh otomatisasi.

“Namun, yang dapat kita pelajari dari masifnya penggunaan AI oleh perusahaan-perusahaan hari ini, adalah bahwa ketika AI tidak bisa sepenuhnya menggantikan peran manusia sebagai pekerja, namun penggunaan AI sebenarnya sangat bisa untuk mengikis upah dan meningkatkan kesenjangan kekayaan antara kelas pekerja dengan kelas pemodal yang memanfaatkan AI tersebut,” kata dia.

Baca Juga  Rayakan 30 Tahun, SECOM Indonesia Siap Hadapi Tantangan Keamanan di Indonesia

Hal tersebut, lanjutnya, bukan karena suatu keniscayaan yang tak terelakkan dari kemajuan teknologi. Namun, tidak lain karena pilihan politis atas kepentingan profit kelas pemodal.

Menurut dia, hal inilah yang menyebabkan perusahaan-perusahaan membiarkan penggunaan AI yang sebenarnya tidak lebih baik dari manusia, seperti penulisan berita, karena dianggap “good enough” dan secara tidak langsung menekan daya tawar pekerja manusia untuk tidak macam-macam dalam kompensasi karena mudah untuk digantikan AI, seberapa lebih baiknya kualitas manusia tersebut di atas AI sekalipun.

“Jadi pesannya adalah, walaupun kita tidak bisa mencegah kemajuan teknologi, namun pekerja sangat patut untuk bersatu dan menyadari bahwa ancaman kehilangan pekerjaan dari AI ini bukan akibat dari keniscayaan dari kemajuan AI sendiri, namun lebih karena keputusan yang dibuat oleh kelas pemilik teknologi tersebut,” ujarnya.

Oleh sebab itu, kata Andri, harus disadari secara bersama-sama untuk bisa memutuskan bagaimana teknologi ini dapat digunakan, apakah ingin untuk meningkatkan produktivitas dan mempermudah pekerjaan.

“Atau hanya untuk menekan biaya dan meningkatkan kesenjangan antara kelas pekerja dan kelas pemilik pemodal,” katanya.

Related Articles

Back to top button