Ekonomi

Perang Dagang Trump: Ekonom Kecam Prabowo Malah Buka Keran Impor dari Amerika Serikat

Justru yang dibutuhkan adalah reformasi menyeluruh di sektor pertanian, peningkatan produktivitas melalui teknologi dan infrastruktur, serta proteksi cerdas.

Sakawarta, Jakarta – Ekonom dari Departemen Ekonomi Universitas Andalas Syafruddin Karimi mengatakan kebijakan membebaskan impor kedelai dari Amerika Serikat (AS) tanpa kuota tampak bertentangan dengan semangat kedaulatan pangan yang secara tegas dinyatakan Presiden Prabowo dalam pidato pelantikannya.

Dalam pidatonya, kata dia, Presiden Prabowo padahal menyampaikan komitmen kuat untuk menjadikan Indonesia menyoal swasembada pangan agar tidak terus-menerus bergantung pada impor bahan pokok.

Namun, menurut Syafruddin, keputusan membuka keran impor kedelai, yang sebagian besar merupakan produk rekayasa genetika (GMO) yang di AS hanya digunakan sebagai pakan ternak, justru mengarah pada ketergantungan struktural terhadap negara lain.

“Khususnya dalam bahan pangan yang menjadi konsumsi utama rakyat,” kata Syafruddin dalam keterangan resmi dikutip di Jakarta, Rabu (16/4/2025).

Ironisnya, kata dia, kedelai GMO tersebut di Indonesia digunakan sebagai bahan baku untuk produksi tahu dan tempe, dua makanan pokok yang dikonsumsi luas oleh masyarakat, terutama kelas menengah bawah.

Menurut dia, ketika petani lokal semakin terpinggirkan akibat banjirnya kedelai murah impor, maka bukan hanya sektor pertanian yang terpukul, tetapi juga visi besar kedaulatan pangan menjadi lemah dalam praktiknya.

“Kedaulatan pangan tidak cukup dengan retorika, tetapi membutuhkan kebijakan nyata yang melindungi, memberdayakan, dan membina produksi dalam negeri,” ujarnya.

Syafruddin berpendapat, membuka impor tanpa kuota, tanpa kontrol, dan tanpa strategi jangka panjang hanyalah bentuk kepatuhan terhadap tekanan eksternal yang merugikan rakyat sendiri.

Ia menambahkan, jika pemerintah ingin mewujudkan kedaulatan pangan seperti yang dijanjikan, maka penguatan produksi kedelai lokal harus menjadi prioritas, bukan justru dikorbankan demi kestabilan jangka pendek yang semu.

Baca Juga  Waskita: Bendungan Rukoh dan Bendungan Jlantah Rampung, Siap Diresmikan Presiden Prabowo

“Sulit dipercaya bahwa Presiden Prabowo yang selama ini dikenal sebagai sosok yang vokal menentang neoliberalisme dan dominasi asing, akan mengambil langkah yang kontradiktif seperti menghapus kuota impor secara sepihak. Jika langkah ini benar-benar terjadi, maka publik berhak mempertanyakan konsistensi antara retorika kedaulatan dan praktik kebijakan,” katanya.

Syafruddin melanjutkan, penghapusan kuota impor khususnya untuk komoditas strategis seperti kedelai, gula, atau beras, secara langsung bertentangan dengan semangat swasembada pangan yang selama ini dijadikan prioritas utama oleh Presiden Prabowo dalam berbagai pidato dan dokumen visi-misi.

Ia menilai, swasembada pangan bukan sekadar soal ketersediaan stok, melainkan soal kemampuan bangsa untuk memenuhi kebutuhan dasarnya sendiri tanpa ketergantungan berlebihan pada negara lain.

Dengan demikian, jika kebijakan impor dibuka tanpa kontrol, maka yang terjadi bukan penguatan ketahanan, melainkan pembiaran terhadap runtuhnya ekosistem pertanian nasional.

“Petani akan kehilangan insentif untuk menanam, pasar lokal akan dibanjiri produk asing, dan harga komoditas domestik akan jatuh. Dalam jangka panjang, ini akan memperlemah fondasi pangan nasional dan menjauhkan Indonesia dari impian besar menjadi bangsa yang berdikari di sektor pangan,” kata Syafruddin.

Maka dari itu, lanjutnya, jika Presiden Prabowo ingin tetap memegang teguh janji politiknya soal kedaulatan dan anti-neoliberalisme, maka membuka keran impor tanpa batas bukanlah pilihan yang konsisten.

“Justru yang dibutuhkan adalah reformasi menyeluruh di sektor pertanian, peningkatan produktivitas melalui teknologi dan infrastruktur, serta proteksi cerdas yang disertai evaluasi kinerja agar swasembada pangan benar-benar tercapai, bukan sekadar menjadi slogan kampanye,” katanya.

Related Articles

Back to top button