Revisi UU BUMN Sudah, Lalu Selanjutnya Apa
*Opini: Achmad Nur Hidayat, Ekonom dan Pakar Kebijakan Publik UPN Veteran Jakarta.

Sakawarta, Jakarta – Apakah dengan diubahnya Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) menjadi BP BUMN sebagai regulator, dan ditegaskannya Danantara sebagai pengendali ekonomis BUMN, kita akhirnya menemukan resep agar perusahaan negara melesat dari beban menjadi lokomotif pertumbuhan? Atau jangan-jangan kita hanya memindahkan kunci dari satu laci ke laci lain tanpa mengganti gemboknya?
Pertanyaan itu relevan hari ini, karena keputusan politik-institusional ini mengusik jantung tata kelola: siapa mengatur, siapa mengelola, dan siapa bertanggung jawab ketika keputusan salah?
Dualisme Usai, Trade-off Dimulai
Masalah lama BUMN adalah dualisme peran—regulator merangkap “pemilik” ekonomis—yang membuat akuntabilitas kabur dan keputusan korporasi tersendat. Revisi UU memisahkan jalur: BP BUMN merumuskan standar, pagar risiko, dan pengawasan; Danantara mengorkestrasi portofolio, aksi korporasi, serta pembiayaan proyek strategis.
Desain ini logis: regulator mengatur, operator mengoptimalkan nilai. Tetapi sentralisasi selalu membawa trade-off: kecepatan berhadapan dengan disiplin tata kelola, fleksibilitas diuji oleh transparansi, dan misi publik bernegosiasi dengan efisiensi korporasi.
Ujian utamanya bukan pada pasal demi pasal, melainkan pada kualitas eksekusi dan mekanisme kontrolnya. Secara institusional, posisi BUMN menguat karena garis perannya jelas.
BP BUMN fokus pada guardrails: standardisasi fit-and-proper, batas leverage dan risiko valuta, protokol keterbukaan informasi, hingga penataan PSO agar tidak menggerus arus kas korporasi.
Danantara memegang kendali ekonomis: alokasi modal lintas holding, rotasi portofolio, sinergi operasional, dan mobilisasi pembiayaan yang lebih cerdas. Kejelasan ini memangkas friksi koordinasi dan mempercepat keputusan.
Tetapi penguatan itu bersyarat: guardrails harus berfungsi, pengawasan eksternal (BPK, DPR) tajam, dan kontrak PSO eksplisit serta ring-fenced agar beban misi sosial tidak bocor ke neraca komersial. Tanpa tiga hal ini, sentralisasi justru berisiko melahirkan konsentrasi kewenangan tanpa akuntabilitas.
Larangan Rangkap Jabatan: Mengapa Perlu Dipercepat?
Larangan rangkap jabatan komisaris dengan menteri/wamen adalah kemajuan mendasar dalam mengurangi conflict of interest.
Jika implementasinya dibiarkan berlarut, bias keputusan—atau sekadar persepsi bias—akan bertahan dan menambah biaya modal institusional.
Karena itu, meski aturan memberi masa transisi, secara tata kelola langkah ini idealnya dipercepat.
Sinyal pasar dari percepatan itu jelas: Indonesia serius menegakkan garis pemisah antara keputusan kebijakan dan operasi korporasi.
Semakin cepat garis itu ditegakkan, semakin cepat pula kepercayaan investor menguat, dan semakin rendah premi risiko yang ditanggung BUMN ketika menghimpun pembiayaan.
Komisaris Profesional: Dari Jargon ke Mekanisme
Menata dewan komisaris agar diisi profesional bukan perkara menyusun kata, melainkan mendesain proses. Realitas menunjukkan penunjukan komisaris kerap dibayangi afiliasi politik.
Agar amanat profesionalisasi tak berhenti sebagai jargon, diperlukan mekanisme yang dapat diuji publik: komite nominasi independen berbasis matriks kompetensi per sektor; cooling-off period yang jelas bagi figur berpotensi konflik; serta KPI komisaris yang terukur dan diumumkan berkala—efektivitas pengawasan risiko, mutu audit internal, dan kepatuhan keterbukaan informasi.
Tanpa proses yang transparan, “profesional” akan takluk oleh “kedekatan”.
Ada tiga hasil yang pantas dituntut dari revisi UU ini.
Pertama, kontrak PSO yang terang: standar layanan, mekanisme pembayaran, dan sumber dananya jelas, sehingga Danantara dapat mengeksekusi misi sosial tanpa mensubsidi silang yang tidak terlihat.
Kedua, pelaporan portofolio per holding—bukan sekadar konsolidasi global—secara periodik, agar publik bisa menilai IRR proyek, catatan impairment, dan setoran dividen ke negara pada level yang bermakna.
Ketiga, disiplin pasar dalam pendanaan: apa pun labelnya—termasuk skema “patriotik”—harus tunduk pada prinsip harga berbasis risiko, partisipasi sukarela, dan pengungkapan penggunaan dana yang rinci. Inovasi pembiayaan perlu, tetapi akal sehat pasar lebih perlu.
Sentralisasi Harus Disusul Transparansi
Pada akhirnya, kita sedang menguji kedewasaan institusi.
Kita telah memilih kokpit tunggal untuk mengemudikan nilai BUMN melalui Danantara, sementara BP BUMN berdiri sebagai menara pengawas.
Pilihan ini punya logika ekonomi yang kuat: menyederhanakan komando, mempercepat keputusan, dan—bila guardrails bekerja—melindungi APBN dari beban yang tak semestinya.
Tetapi rel baru tanpa sinyal tetap berbahaya. Black box-nya adalah pelaporan portofolio yang dapat diuji; checklist-nya adalah kontrak PSO yang tegas; menara pengawas-nya adalah regulator yang punya gigi, serta auditor dan parlemen yang fokus pada outcome, bukan seremoni.
Dengan itu semua, sentralisasi berubah menjadi efisiensi—bukan euforia dan barulah BUMN kita pantas disebut lokomotif, bukan gerbong yang terus didorong.