Mismatch Kebijakan Menkeu Purbaya dan Pertumbuhan Ekonomi Daerah
Opini: Syafruddin Karimi, Ekonom Departemen Ekonomi Universitas Andalas.

Sakawarta, Jakarta – Paket kebijakan Purbaya menekan gas dari sisi perbankan, sementara APBD di banyak daerah terpaksa mengerem. Kondisi ini lahir karena pelonggaran likuiditas berjalan berbarengan dengan pemangkasan Transfer ke Daerah (TKD).
Pusat berharap kredit baru memicu investasi, produksi, dan daya beli. Daerah justru kehilangan otot fiskal untuk mengimbangi dorongan itu. Terjadi ketidakseimbangan: bank siap menyalurkan kredit, pemerintah daerah memangkas proyek dan belanja barang/jasa. Transmisi dari uang murah ke kegiatan riil berisiko putus di tengah jalan.
Motor pertumbuhan Indonesia bertumpu pada kabupaten/kota. Proyek infrastruktur kecil–menengah, penguatan UMKM, dan layanan dasar menggerakkan permintaan lokal dengan multiplier tinggi dan cepat. Ketika TKD turun, APBD melemah pada pos yang paling responsif terhadap lapangan kerja.
Kontraktor menunda mobilisasi, pemasok kehilangan pesanan, dan sirkulasi uang antarwilayah melambat. Bank kemudian membaca prospek arus kas debitur lebih suram, sehingga kredit komersial tertahan. Gas di sisi perbankan kehilangan traksi karena roda APBD tidak berputar cukup cepat.
Pemindahan kas pemerintah dari BI ke Himbara dan BPD pada dasarnya tepat. Aturan “credit-only” memaksa dana bekerja ke sektor riil, bukan kembali terparkir di instrumen pasif. Jika bank menyalurkan kredit baru ke UMKM, koperasi, dan proyek produktif, rantai permintaan → investasi → produksi → pendapatan bisa hidup kembali.
Efek ini paling terasa di wilayah yang memiliki BPD tangguh, pipeline debitur yang jelas, dan proyek siap dibiayai. Di tempat seperti itu, likuiditas tambahan menahan kontraksi akibat pengurangan TKD.
Gambaran nasional tidak rata. Provinsi dan kabupaten yang sangat bergantung pada TKD cenderung mengalami dampak bersih negatif, terutama bila proyek siap lelang menipis dan BPD belum agresif menyalurkan kredit produktif.
Daerah dengan penjaminan kredit aktif, kurasi subsektor padat karya, dan portofolio proyek bernilai tambah lebih tinggi berpeluang menahan kontraksi, bahkan mencetak pemulihan terbatas pada konstruksi ringan, agro, dan pariwisata. Varians antarwilayah akan melebar: yang siap menyalurkan kredit dan punya proyek bergerak; yang tidak siap tertinggal.
Kebijakan yang efektif menuntut penyelarasan fiskal pusat–daerah. Menambah penempatan dana di bank tidak cukup bila APBD tetap kehilangan tenaga. Arsitektur harus memastikan dua pedal bekerja serempak: perbankan menyalurkan, APBD mengeksekusi. Ada empat langkah praktis untuk menutup mismatch.
Pertama, lindungi porsi belanja modal prioritas di APBD melalui ring-fencing yang tegas. Pastikan infrastruktur bernilai tambah tinggi dengan kandungan lokal kuat tetap berjalan sejak awal tahun anggaran. Berikan fleksibilitas realokasi sehingga OPD dapat memindahkan anggaran dari pos rendah dampak ke proyek siap lelang tanpa proses bertele-tele. Kejelasan ini membuat kontraktor dan bank berani mengajukan dan menyalurkan kredit karena kepastian pekerjaan berada di depan mata.
Kedua, terapkan top-up TKD berbasis kinerja dengan pemicu eksplisit. Saat penerimaan negara membaik atau indikator pertumbuhan melewati ambang yang disepakati, tambahan otomatis mengalir ke daerah yang menyiapkan pipeline proyek dan menunjukkan serapan baik. Skema ini mengunci ekspektasi, mereduksi tarik-menarik politis, dan menghadirkan insentif jelas bagi pemda untuk mempercepat persiapan dokumen, pengadaan, serta penetapan lokasi.
Ketiga, kuatkan kanal kredit produktif di BPD. Tetapkan target penyaluran yang mengikat, plafon per subsektor, tenor mengikuti siklus usaha, serta batas eksposur per debitur. Aktifkan penjaminan selektif melalui Jamkrida untuk UMKM prospektif yang kekurangan agunan. Percepat proses dari komitmen ke pencairan agar tidak lebih dari 30 hari untuk mayoritas aplikasi layak. Kecepatan menciptakan kepercayaan pasar dan menurunkan biaya peluang pelaku usaha.
Keempat, stabilkan Dana Bagi Hasil melalui peredam siklus sehingga gejolak komoditas tidak langsung mengguncang kas daerah. APBD yang lebih dapat diprediksi membuat kontrak proyek terkunci lebih cepat dan keputusan kredit lebih tegas. Bank menilai risiko lebih presisi ketika arus kas pemerintah daerah memiliki visibilitas yang baik.
Selain empat langkah itu, pemda perlu menyiapkan daftar proyek siap dibiayai bersama BPD, asosiasi usaha, dan perguruan tinggi. Daftar harus memuat nilai, kesiapan dokumen (FS, DED, RAB), status lahan, dan estimasi serapan tenaga kerja.
Pipeline yang transparan mengurangi asimetri informasi antara bank dan calon debitur, mempercepat analisis kelayakan, dan menurunkan risiko gagal serap. Di saat bersamaan, publik melihat progres yang dapat diverifikasi: nilai kredit, jumlah debitur, sebaran wilayah, serta dampak tenaga kerja.
Narasi yang menyatakan belanja pusat dapat menggantikan belanja daerah layak diuji. Dampak belanja sangat dipengaruhi kandungan lokal, sebaran geografis, dan kecepatan eksekusi. Proyek pusat yang padat impor atau terkonsentrasi di ibukota tidak otomatis menetes ke rantai pasok daerah.
Sebaliknya, proyek daerah skala menengah menyentuh pelaku usaha lokal secara langsung dan menyebarkan pendapatan lebih cepat. Karena itu, menjaga energi fiskal daerah bukan aksesori, melainkan syarat agar likuiditas bank berubah menjadi output nyata.
Intinya jelas. Kebijakan Purbaya memberi bahan bakar ke sistem perbankan, tetapi pemangkasan TKD mengurangi daya putar mesin di daerah. Pertumbuhan yang sehat membutuhkan dua mesin bergerak serentak: kredit yang siap disalurkan dan APBD yang siap mengeksekusi.
Ketika pusat mengunci aturan kredit produktif dan memberikan kepastian top-up berbasis kinerja, sementara daerah menjaga capex bernilai tambah serta menyiapkan proyek siap dibiayai, transmisi kebijakan akan menyatu. Kredit berubah menjadi proyek, proyek berubah menjadi upah dan produksi, dan pertumbuhan menyebar dari kota besar sampai kampung nelayan. Mismatch berakhir ketika gas dari perbankan bertemu dengan roda APBD yang kembali berputar.