Kebijakan Tarif Presiden AS Trump Picu Gelombang Disrupsi Perdagangan Global
Ini akan memperdalam fragmentasi sistem perdagangan internasional, mengurangi efisiensi, dan memperbesar biaya produksi bagi sektor manufaktur global.

Sakawarta, Jakarta – Ekonom dari Unversitas Andalas Syafruddin Karimi mengatakan kebijakan tarif Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump yang kembali diberlakukan pada tahun 2025 ini berpotensi memicu gelombang disrupsi baru dalam perdagangan global.
“Dengan dampak langsung terhadap harga barang konsumsi, stabilitas rantai pasok, dan kinerja ekspor negara mitra dagang Amerika Serikat,” kata Syafruddin melalui keterangannya dikutip di Jakarta, Selasa (6/5/2025).
Ia menerangkan, berdasarkan pengalaman perang dagang tahun 2018, tarif yang dikenakan AS, tidak mendorong penurunan harga dari eksportir asing.
“Melainkan justru meningkatkan harga barang impor di pasar domestik,” ujarnya.
Prof. Syafruddin berpendapat, jika pola ini terulang, maka konsumen AS akan kembali menanggung beban inflasi impor, yang bisa memperburuk tekanan harga di tengah kondisi ekonomi global yang belum sepenuhnya pulih.
Di sisi lain, ia memperkirakan, negara-negara mitra dagang seperti Tiongkok, Meksiko, dan negara-negara Asia Tenggara (ASEAN) kemungkinan besar akan merespons dengan tarif balasan atau diversifikasi pasar, hingga mempercepat reorientasi rantai pasok global menjauhi AS.
“Ini akan memperdalam fragmentasi sistem perdagangan internasional, mengurangi efisiensi, dan memperbesar biaya produksi bagi sektor manufaktur global,” katanya.
Syafruddin berujar, bagi negara berkembang seperti Indonesia, lonjakan tarif ini menghadirkan peluang sekaligus risiko seperti peluang untuk mengisi kekosongan pasar akibat relokasi produksi dari Tiongkok dan risiko kehilangan akses pasar AS jika ekspor terkena dampak tarif atau aturan asal barang atau rules of origin.
Menurut dia, jika kebijakan ini terus meluas, pasar global akan semakin bergerak menuju blok-blok perdagangan eksklusif, meningkatkan ketegangan geopolitik, dan mempersulit pemulihan ekonomi dunia.
“Oleh karena itu, negara-negara berkembang harus mengambil langkah antisipatif dengan memperkuat diversifikasi pasar ekspor, mempercepat integrasi regional, dan mengurangi ketergantungan pada pasar Amerika Serikat. Tanpa strategi adaptif, lonjakan proteksionisme baru ini akan menciptakan tekanan besar terhadap stabilitas perdagangan, investasi, dan harga domestik,” ujarnya.