Ekonomi

Pemangkasan TKD: Sentralisme Baru dan Stabilitas Ekonomi

*Opini: Syafruddin Karimi, Ekonom Departemen Ekonomi Universitas Andalas

Sakawarta, Jakarta – Pemangkasan Transfer ke Daerah (TKD) bukan sekadar penyesuaian teknis anggaran. Kebijakan ini mengirim sinyal politik fiskal yang tegas: pusat mengambil kembali kendali atas arus uang publik.

Di atas kertas, tujuan efisiensi tampak mulia. Di lapangan, pemangkasan dan pengetatan syarat penyaluran mengubah otonomi fiskal menjadi relasi komando. Itulah inti sentralisme baru: bukan mencabut otonomi secara formal, melainkan mengikat otonomi pada keputusan pusat yang bergerak cepat dan sering berubah.

Otonomi yang sehat membutuhkan tiga pilar: prediktabilitas, akuntabilitas, dan ruang inovasi. Pemangkasan TKD merontokkan ketiganya. Prediktabilitas melemah ketika transfer bergeser dari formula yang stabil ke pengaturan diskresioner.

Pemerintah daerah tidak bisa mengunci kontrak layanan, menata belanja modal, atau menjaga arus kas program hingga akhir tahun. Akuntabilitas kabur ketika capaian layanan bergantung pada keputusan pusat yang datang belakangan. Ruang inovasi menyempit karena kepala daerah memilih aman: menunda proyek yang berisiko tak tersalur dan mematikan inisiatif yang butuh pendanaan multi-tahun.

Efeknya terasa langsung pada ekonomi riil. TKD adalah bahan bakar layanan dasar dan proyek kecil-menengah yang menyerap tenaga kerja lokal. Saat transfer tersendat atau menyusut, pembelian barang dan jasa daerah tertahan, penyerapan tenaga kerja melambat, dan pelaku usaha menunda ekspansi.

Ekonomi daerah bekerja seperti mesin yang kehabisan pelumas: komponen tetap ada, pergerakan tidak lagi mulus. Sentimen pelaku usaha ikut tertekan karena ketidakpastian penyaluran memicu volatilitas arus kas pemerintah daerah dan kontraktor lokal.

Desain berbasis kinerja sering dijadikan dalih untuk menahan penyaluran. Kinerja memang penting. Masalahnya muncul ketika indikator dipakai sebagai rem jangka pendek, bukan sebagai insentif yang konsisten.

Daerah membutuhkan kepastian minimum untuk gaji tenaga layanan, pengadaan obat, operasional sekolah, dan pemeliharaan infrastruktur. Tanpa jangkar yang jelas, indikator berubah menjadi alat kontrol yang menunda belanja strategis. Hasilnya bukan perbaikan mutu, melainkan spiral penundaan yang justru menurunkan kualitas layanan.

Sentralisme baru juga mengubah peta akuntabilitas politik. DPRD dan warga menilai kinerja pemerintah daerah dari keluaran layanan: puskesmas buka tepat waktu, jalan lingkungan terawat, bantuan sosial tersalurkan.

Ketika transfer menjadi variabel yang dikunci di pusat, ruang pertanggungjawaban bergeser. Pemerintah daerah beralasan kekurangan dana; pusat mengklaim perbaikan kinerja sebagai syarat; publik tidak lagi memiliki rujukan yang sederhana untuk menilai siapa yang lalai. Kekaburan ini berbahaya karena merusak kontrak kepercayaan antara warga dan penyelenggara layanan.

Baca Juga  Di Hadapan Investor dan Bankir, Prabowo Janji Lanjutkan Program Presiden Jokowi

Ada yang berargumen bahwa pusat perlu mengambil kendali untuk mendorong proyek prioritas nasional. Argumen itu sah. Stabilitas ekonomi nasional memang menuntut sinkronisasi kebijakan. Pertanyaannya bukan tentang siapa yang memegang kendali, melainkan tentang bagaimana kendali itu diterapkan.

Sentralisme yang menekan ruang fiskal daerah justru melemahkan transmisi kebijakan ke akar rumput. Ketika pusat menekan rem di saat daerah bersiap mengeksekusi belanja, siklus bisnis lokal pecah ritmenya, dan stabilitas makro kehilangan penyangga dari sisi permintaan domestik. Solusi ada pada desain yang berimbang—tegas di sasaran, jelas di aturan main.

Pertama, tetapkan baseline multi-tahun untuk layanan dasar. Pendidikan, kesehatan, dan perlindungan sosial memerlukan jaminan minimal yang tidak boleh terpangkas di bawah kebutuhan standar. Baseline ini berfungsi sebagai jangkar agar kontrak tenaga dan logistik berjalan tanpa gangguan.

Kedua, pisahkan secara eksplisit komponen formula dan komponen kinerja. Formula memberi kepastian arus kas; komponen kinerja menjadi bonus atau pemotong dengan kriteria yang sederhana, terukur, dan diumumkan sejak awal tahun. Daerah tahu apa yang akan diterima dan apa yang bisa hilang bila target tidak tercapai.

Ketiga, umumkan kalender penilaian dan pencairan yang mengikat. Jadwal triwulanan yang konsisten memperkecil ruang kejutan. Begitu penilaian selesai, pencairan mengikuti tanpa penafsiran baru. Kejelasan waktu adalah separuh solusi ketidakpastian.

Keempat, buka informasi penyesuaian secara rinci. Daftar daerah terdampak, besaran koreksi, alasan teknis, dan indikator yang dipakai perlu tersedia untuk publik. Transparansi mencegah persepsi pilih kasih dan memperbaiki disiplin fiskal dari dua arah: pusat dan daerah.

Kelima, lakukan analisis dampak regional sebelum pemangkasan besar. Pemerintah bisa memetakan provinsi yang rentan kontraksi dan mengatur porsi koreksi secara bertingkat. Tujuannya sederhana: melindungi daya beli lokal dan menjaga proyek yang menyerap tenaga kerja.

Efisiensi dan stabilitas harus berjalan beriringan. Negara membutuhkan disiplin anggaran, daerah membutuhkan kepastian. Sentralisme baru yang lahir dari pemangkasan TKD justru rawan menggoyang stabilitas ekonomi nasional karena melemahkan transmisi kebijakan, memperkeruh akuntabilitas, dan menambah volatilitas APBD.

Jalan tengahnya bukan memulihkan pola belanja tanpa syarat, melainkan membangun desain transfer yang konsisten, transparan, dan terprediksi. Dengan rancangan seperti itu, pusat tetap memimpin arah, daerah tetap mampu bergerak, dan ekonomi nasional berdiri di atas fondasi yang lebih kokoh.

Related Articles

Back to top button