
Sakawarta, Jakarta – Ekonom dari Universitas Andalas (Unand) Syafruddin Karimi mengatakan Tax Amnesty bisa menjadi solusi, hanya jika negara mendesainnya dengan tujuan jelas untuk menutup celah dengan teknologi dan kerja sama informasi, serta menjalankan penegakan keras setelah program usai.
“Tanpa tiga hal itu, amnesti menjelma masalah, penerimaan sesaat terbayar mahal oleh erosi kepercayaan jangka panjang, harga yang tidak layak dibayar oleh kontrak sosial sebuah republik pajak,” kata Syafruddin dalam keterangannya dikutip Senin (22/9/2025).
Ia pun mengungkap dampak apabila amnesti pajak diulang. Menurut dia, pengulangan dapat menciptakan ekspektasi pengampunan berikutnya, menurunkan kepatuhan sukarela, dan melemahkan etika pajak.
Kata Syafruddin, bukti riset dan telaah IMF menunjukkan biaya jangka panjang sering melampaui manfaat, di mana amnesti berulang mendorong perilaku menunda bayar sampai diskon datang lagi.
“Eksperimen kebijakan juga menemukan bahwa perubahan durasi atau kemudahan amnesti dapat menekan kepatuhan masa depan karena wajib pajak membaca pola keringanan. Pada titik itu, amnesti berubah dari solusi taktis menjadi jebakan moral hazard. Negara perlu menegaskan bahwa program bersifat satu kali, disusul penegakan tegas untuk menutup peluang spekulasi kepatuhan,” ucapnya.
Menurut dia, Mentei Keuangan (Menkeu) Purbaya Yudhi Sadewa sudah tepat ketika menegaskan aturan fiskal tidak perlu diubah karena pasar membutuhkan jangkar yang jelas, di mana defisit di bawah 3% PDB dan rasio utang tetap terkelola di bawah 60%.
Syafruddin erpendapat, keputusan itu mengirim pesan kuat bahwa pemerintah memilih disiplin, bukan eksperimen yang merusak kredibilitas.
Jadi, tugas berikutnya ialah mengeksekusi APBN dengan ketat seperti mengarahkan belanja ke sektor berdaya ungkit tinggi, pangkas proyek rendah manfaat, dan dorong reformasi penerimaan melalui perluasan basis pajak serta penegakan kepatuhan yang cerdas.
Kemudian, kebijakan moneter yang lebih longgar akan bekerja efektif jika fiskal berdiri tegak.
“Rupiah lebih tahan guncangan ketika pasar melihat kurva SBN terjaga dan kebutuhan pembiayaan terkendali,” ucapnya.
Syafruddin menambahkan, Pemerintah juga perlu memperdalam pasar keuangan domestik, memperpanjang tenor penerbitan, dan memperkuat basis investor institusional lokal agar volatilitas global tidak mudah menekan biaya dana.
“Jika DPR membuka kajian UU 17/2003, arahkan perdebatan untuk memperkuat pagar pengaman: debt anchor eksplisit, escape clause ketat, dan kerangka fiskal menengah yang transparan. Bertindak seperti ini berarti memimpin ekspektasi, menjaga stabilitas, serta mengamankan reputasi Indonesia sebagai ekonomi besar yang disiplin dan pro-investasi,” katanya.